:: Tugas Kelompok Artikel Fenomenologi
21.43 Diposting oleh College student
Tugas Kelompok Artikel Fenomenologi
FENOMENA JILBAB DARI MASA KE MASA
(disunting dari artikel :”FENOMENOLOGI JILBAB”; oleh Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Jakarta, dimuat di KOMPAS Senin, 25 November 2002 )
oleh:
1). Firman Mendrofa NPM. 0720005017
2). Ermina Deasya zwesty NPM. 0720005013
3). Winda Darmayanti NPM. 0720005074
Pendahuluan.
Jilbab; pakaian penutup kepala perempuan jenis ini di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi pada permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki pe-rempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.
Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat ditelusuri di dalam syair-syair Jahiliyah, antara lain burqu', kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata; niqab, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna'ah, kerudung mini yang menutupi kepala; qina', kerudung lebih lebar; litsam atau nishaf, kerudung lebih panjang atau selendang; khimar, istilah generik untuk semua pakaian penutup kepala dan leher; jilbab, pakaian luar seperti dijelaskan di atas.
Latar belakang jilbab
Jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu. Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l'Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab, bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana jilbab merupakan pakaian adat di sana.
Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-Byzantium, menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara dan timur Jazirah Arab seperti Damaskus dan Baghdad yang pernah menjadi ibu kota politik Islam zaman Dinasti Mu'awiyah dan Abbasiah.
Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institu-tionalized), pakaian wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk pembakuan standar penulisan dan bacaan (qira'at) Al Quran.
Wacana jilbab dalam Islam
Ada dua istilah populer digunakan Al Qur’an untuk penutup kepala yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat generik. Kata khumur (QS. al-Nur:31) bentuk jamak dari khimar dan kata jalabib (QS. al-Ahdzab:59) bentuk jamak kata jilbab.
Al Quran dan hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak ada satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial.
Dua ayat di atas turun dalam konteks keamanan dan kenyamanan perempuan. Sementara dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap fenomena kelas masyarakat tertentu.
Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan.
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS al-Ahdzab:33,”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, dimaksudkan sebagai cara untuk meperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak. Soalnya, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. Status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Berbeda dari kaum perempuan merdeka. Dengan begitu, identifikasi perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama dengan budak. Istilah merdeka dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual laki-laki.
Sampai di sini, pertanyaan penting agaknya perlu dikemukakan. Kalau jilbab digunakan sebagai pencirian perempuan merdeka, bagai mana pakaian yang biasa dikenakan perempuan budak? Abdul Halim Abu Syuqqah menginformasikan bahwa kaum perempuan Arab pra Islam sebenarnya biasa mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode. Ada yang memakai cadar dan sebagainya. Beberapa bentuk dan mode pakaian yang dikenakan kaum perempuan Arab saat itu, berlaku bagi perempuan merdeka dan perempuan budak. Ketika Islam datang, mode dan bentuk pakaian yang menjadi tradisi masyarakat Arab jahiliyah masih diakui. Tetapi, ada dugaan kuat, seruan pemakaian jilbab terhadap perempuan-perempuan mukmin yang merdeka, mengindikasikan perempuan budak tidaklah mengenakan jilbab. Atau mereka mengenakannya, tetapi tidak mengulurkannya sampai menutup wajahnya. Tidak berjilbabnya perempuan budak masuk akal, karena tugas-tugas berat mereka untuk melayani majikannya.
Atas dasar itu, surat al-Ahzab 59, tampaknya hanya membicarakan ciri khusus pakaian perempuan merdeka, yang membedakannya dari pakaian perempuan budak. Ciri itu adalah jilbab. Jadi, ayat ini secara lahiriah, serta didukung latar belakang turunnya, hanya membicarakan jilbab sebagai ciri perempuan merdeka, untuk membedakannya dengan perempuan budak. Ayat ini tidak membicarakan aurat perempuan.
Pembicaraan mengenai batas-batas au-rat perempuan dikemukakan dalam ayat lain, misalnya surah al-Nur ayat 31. Para ahli tafsir, ketika mengartikan jilbab, menghubungkan surat al-Ahzab dengan surat an-Nur tadi. Dengan demikian, jilbab adalah pakaian tambahan, pelengkap atau aksesoris yang dirangkap pada pakaian lain yang untuk menutup tubuh perempuan merdeka.
Wahbah mengatakan, jilbab merupakan pelengkap kewajiban menutup aurat. Ini adalah tradisi yang baik, untuk melindungi pe-rempuan dari sasaran pelecehan laki-laki.
Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab yang berbunyi, ”Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri Nabi SAW), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka.”(Al-Ahzab:53)Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Jilbab sebagai fenomena resistensi
Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadap-hadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington sebagai benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung?
Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perem-puan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihan-nya secara sadar?
12 Juni 2008 pukul 16.22
KEKERASAN DI SEKOLAH
Sebuah Fenomena Kekerasan dalam Pendidikan
(Tugas Mata Kuliah Pendekatan Sistem Dalam Pendidikan)
Dosen Pengampu: 1. Prof. Dr. Sujarwo, M.S
2. Dr. Basrowi, M.Pd
Oleh :
Kelas A
1. Eis Suryati (0720005088)
2. Feri Fahrizal Mulkan (0720005089)
3. Toto Sugiharto (0720005106)
4. Yusuf Darmawan (0720005079)
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2008
KEKERASAN DI SEKOLAH
(Sebuah Fenomena Kekerasan dalam Pendidikan)
1. Latar Belakang
Dalam 15 tahun terakhir kasus-kasus akibat kekerasan di sekolah makin sering kita dengar atau baca melalui media massa. Selain tawuran sebenarnya ada dua bentuk perilaku agresif atau kekerasan yang mungkin sudah lama terjadi di sekolah-sekolah, namun tidak begitu mendapatkan perhatian, bahkan ada pihak-pihak yang tidak menganggapnya sebagai hal yang serius. Kekerasan dimaksudkan disini adalah bullying atau sering juga disebut sebagai peer victimization dan hazing. Yang dimaksudkan dengan bullying adalah: Bentuk-bentuk perilaku dimana terjadi pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/ sekelompok orang yang lebih 'Iemah', oleh seseorang/ sekelompok orang yang lebih 'kuat' (Ma, Stein & Mah, 2001; Olweus, 1991; Rigby, 1999).
Perlu dicatat disini adalah bahwa pemaksaan atau usaha menyakiti ini dilakukan di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah, itu sebabnya disebut sebagai peer victimization.
Sedangkan hazing adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang sudah `senior', yang berupa keharusan bagi `yunior' untuk melakukan tugas-tugas yang memalukan, melecehkan bahkan juga menyiksa atau setidaknya menimbulkan ketidak nyamanan fisik maupun psikis sebagai syarat penerimaan anggota baru sebuah kelompok ( Hoover & Milner, 1998; Nuwer, 2000). Kegiatan-kegiatan seperti ini kita kenal dengan nama MOS (Masa Orientasi Sekolah) yang biasanya sudah merupakan tradisi dari tahun ke tahun terutama SMP dan SMA di Indonesia. Walaupun tujuan dari hazing adalah untuk inisiasi penerimaan seseorang dalam sebuah kelompok, dan biasanya kegiatan inisiasi ini hanya berlangsung selama beberapa hari saja, namun dalam beberapa tahun terakhir ini ada kecenderungan untuk memperpanjang masa inisiasi.
Di sebagian besar negara Barat baik hazing dan terutama bullying ini dianggap sebagai hal yang serius karena cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dampak dari perilaku ini yang sangat negatif. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental maupun fisik jangka pendek maupun panjang mereka akan terpengaruh (Rigby, 1999). Di Indonesia, sejak lima tahun terakhir, gejala bullying di sekolah mulai diperhatikan oleh media massa, walaupun dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari memang sering kita dengar kata 'gencet-gencetan' atau juga 'senioritas'. Kedua bentuk kekerasan ini memang merupakan ragam dari bullying yang berbentuk langsung, namun masih banyak lagi bentuk kekerasan bullying yang tidak terlihat langsung padahal dampaknya juga dapat sangat serius. Misalnya saja ketika ada siswa yang dikucilkan, difitnah, dipalak dan masih banyak lagi kekerasan lain yang termasuk dalam perilaku bullying ini.
Untuk di negara kita, kasus yang cukup “meledak” yaitu IPDN misalnya. Sejak tahun 90-an, telah diketahui ada sekitar 37 kasus kekerasan senior terhadap yunior. Kasus terakhir, yang booming di mata publik adalah tewasnya Wahyu Hidayat di tangan seniornya. Menyusul kemudian tewasnya Cliff Muntu karena kekerasan seniornya di tahun 2007. Masyarakat pun kaget atas kejadian kasus ini. Dan, aksi unjuk rasa menuntut pembubaran IPDN pun terdengar kencang.
2. Pembahasan
Dari hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (2006) menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% juga guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting, bahwa masih ada saja guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan.
Memang benar, guru merupakan faktor dominan dan paling penting dalam sekolah. Karenanya, guru seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Kemampuan guru yang dibutuhkan sekolah menurut Pullias dan Young (1968) tidak hanya kemampuan pedagogis saja yakni menguasai mata pelajaran tertentu dan cara memanage kelas dengan baik. Tetapi juga kemampuan menguasai andragogis dalam arti mempunyai kemampuan dalam hal ilmu psikologi, psikiatri dan sosiologi.
Bagi siswa, sosok guru yang diharapkan dalam sekolah adalah orang yang mampu membawa kemaslahatan terhadap sesama dan mampu berperan sebagai sahabat, kakak, bapak-ibu yang penuh kasih sayang sehingga betul-betul dapat membantu perkembangan pribadinya secara utuh.
Karena itu, apa pun alasannya, kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya tidak hanya mencoreng nama baik lembaga dan profesinya, tapi juga menumbuhkan pribadi siswa yang buruk pula. Yakni, dapat membuat siswa yang dikenai kekerasan itu jiwanya menjadi tertetekan, depresi, kerdil dan mudah emosional. Lain daripada itu, hukuman dengan kekerasan tidak akan membuat siswa jera, tapi menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan.
Dari sisi ilmu psikologi Menurut hasil penelitian yang dilakukan tim Fakultas Psikologi UI, Bullying yang terjadi di SMA adalah Group Bullying dan gejala ini Iebih banyak terjadi di kalangan Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama di kota-kota seperti Jakarta, Bogor dan Bandung. Gejala ini diawali dengan adanya tradisi inisiasi (Hazing) seperti MOS dan sejenisnya, yang kemudian secara informal diperpanjang sampai satu atau dua tahun, sehingga perasaan tertekan bagi siswa kadang-kadang menjadi sesuatu yang kronis bahkan sampai ada yang melakukan usaha bunuh diri. Menjadi pertanyaan: Mengapa mereka mau diperlakukan seperti itu dan selama bertahun tradisi ini terus saja bergulir ? Jawabannya adalah sebagai remaja kebutuhan identitas sosial adalah sesuatu yang sangat kuat, sehingga mereka akan menerima saja segala persyaratan yang diberikan oleh kelompok. Proses pencarian identitas diri dilakukan remaja untuk mendapatkan kejelasan mengenai dirinya dan untuk membentuk diri menjadi seorang yang utuh dan unik. Pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi terlalu bergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Karena itu, pencarian identitas diri mereka dapatkan melalui penggabungan diri dalam kelompok sebaya atau kelompok yang diidolakan, Bagi remaja penerimaan kelompok penting karena mereka bisa berbagi rasa dan pengalaman dengan teman sebaya dan kelompoknya. Kelompok sebaya (dalam hal ini para siswa senior) kemudian menjadi model atau contoh bagi remaja dalam upaya pencarian identitas diri (Turner & Helms,1987).
Terjadinya bullying di sekolah merupakan suatu proses dinamika kelompok, di mana ada pembagian-pembagian peran (Salmivalli dkk, 1996 & 1999). Peran-peran tersebut adalah: Bully, Asisten Bully, Reinforcer, Victim, Defender dan Outsider. Bully, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, yang berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying. Asisten juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung tergantung atau mengikuti perintah Bully. Reinforcer adalah mereka yang ada ketika kejadian Bullying terjadi, ikut menyaksikan, mentertawakan korban, memprovokasi Bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya. Outsider adalah orang-orang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli.
Hal yang mungkin perlu disadari adalah bahwa bullying terjadi dan menjadi tradisi bukan hanya karena adanya Bully, asisten Bully dan Victim (korban) saja, melainkan karena juga peran serta pihak-pihak yang pasif seperti misalnya Reinforcer dan juga Outsider. Ketika Bully melakukan kekerasan dan ia merasa mendapatkan dukungan balk dari asistennya maupun dari para penonton yang bersorak atau ikut tertawa (Reinforcer). Selain itu karena Bully juga tidak mendapatkan konsekuensi negatif dari pihak guru/sekolah, maka dari sudut teori belajar, Bully mendapatkan reward atau penguatan dari perilakunya. Si Bully akan mempersepsikan bahwa perilakunya justru mendapatkan pembenaran bahkan memberinya identitas sosial yang membanggakan. Pihak-pihak Outsider, seperti misalnya guru, murid, orang-orang yang bekerja di sekolah, orang tua; mereka yang tahu tetapi tidak melaporkan, tidak mencegah dan hanya membiarkan saja tradisi ini berjalan karena merasa bahwa hal ini wajar, sebenarnya juga ikut berperan mempertahankan suburnya Bullying di sekolahsekolah. Dengan berjalannya waktu, pada saat korban merasa naik status sosialnya (karena naik kelas) dan telah "dibebaskan melalui kegiatan inisiasi informal" oleh kelompok Bully, terjadilah perputaran peran. Korban berubah menjadi Bully, Asisten atau Reinforcer untuk melampiaskan dendamnya. Mereka-mereka ini yang kemudian merasa menjadi "orang" yang tegar melawan semua kesulitan. Memang tidak semua korban akan menjadi pendukung Bullying ini. Yang paling memprihatinkan adalah korban-korban yang kesulitan untuk keluar dari lingkaran sebagai korban padahal mereka juga aset bangsa.
Ada beberapa penyebab mengapa kekerasan masih mengakar dan kerap diakomodir guru dalam pembelajaran di sekolah. Pertama, adanya persoalan sistemik. Selama ini, otonomi guru di sekolah dalam menentukan pembelajaran masih bersifat sentralistik. Padahal, sistem otonomi daerah sudah diterapkan di berbagai lini kehidupan masyarakat.
Untuk ujian kelulusan (UAN) siswa saja misalnya, masih berkiblat aturan pusat. Sementara, UU Sisdiknas No. 20/2003, pasal 39 ayat 2 tegas menyatakan bahwa pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, pelatihan, dan penelitian. Dan, dalam pasal 56 ayat 1, menyebutkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh para pendidik untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil pembelajaran.
Akibatnya, ‘tubuh’ para guru itu bertransformasi menjadi mekanis dan birokratis. Mereka tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai humanis dan demokratis. Karena, yang ada dalam diri para guru adalah tatanan fetisisme terhadap aturan juklak dan juknis. Dengan demikian, sistem ini mau tak mau harus mereka terapkan pada siswanya. Siswa yang melanggar prinsip sistem ini, harus dihukum, sekalipun dengan cara-cara kekerasan. Tujuannya, agar lalu lintas kinerja sistem pendidikan sentralistik ini tidak lagi terganggu.
Kedua, ketidakadilan sosial. Ini terlihat dari adanya pendistribusian dana pendidikan di sekolah. Dalam bantuan dana pengadaan sarana pendidikan misalnya, pihak depdiknas sendiri masih bersikap diskriminatif. Sekolah yang dianggap bergengsi dan memberikan distribusi paling meruah, akan lebih diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan dana pendidikan, dibandingkan sekolah umum lainnya.
Tidak hanya itu, pihak Depdiknas sendiri cenderung mengakomodasi kepentingan pengajar ilmu eksakta dalam melakukan kajian praktis ataupun mengikuti lomba ilmiah. Sedangkan, kepentingan praktis pengajar ilmu sosial sangat dimarjinalkan. Buktinya, sejak banyak siswa yang menang dalam kejuaraan ilmu eksakta bertaraf internasional, Depdiknas mengucurkan dana secara deras pada sekolah-sekolah untuk menggenjot potensi siswa di bidang eksakta. Padahal, David Dikson (1999) pernah mengatakan bahwa mengunggulkan ilmu eksakta saja dalam pendidikan sama halnya bersekutu dengan setan.
Ketiga, masalah pilihan profesi. Selama ini jurusan pendidikan dan keguruan di kampus masih belum dilirik kebanyakan masyarakat. Sehingga, ketika anak-anaknya lulus sekolah dan ingin berkuliah maka jurusan utama yang diminati dan ditekankan orang tuanya adalah kedokteran, ekonomi, farmasi, keperawatan, sosiologi, dan hukum. Sedangkan, jurusan keguruan hanya jurusan terakhir dan buangan ketika mereka tak masuk seleksi di jurusan utama tersebut. Akibatnya, ketika mereka menempuh studi di kampus FKIP ternyata tidak dijalani dengan serius, sepenuh hati dan bertanggung jawab. Hasilnya, teori tentang mendidik tidak bisa mereka serap dan dibumikan dengan baik ditingkat praktis.
Pendekatan yang sebaiknya digunakan untuk mengatasi kekerasan dalam pendidikan adalah dengan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan humanistik. Penedekatan humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Pendekatan ini berdasarkan pada konsep aliran pendidikan pribadi (Educatonalized education) yaitu John Dewey (Progressif Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education).
Aliran ini lebih memberikan tempat utama pada siswa, yang bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif, yang sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain.
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut John D. Mc Neil, tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
Tujuan pembelajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme Radikal, dan Mistikisme Modern.
Pendidikan Konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus merespon secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan) terhadap kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan. Kritikisme Radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkembang optimal. Mistikisme Modern adalah aliran yang menekankan latihan dan mengembangkan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sesitivity training, yoga, meditasi, dan sebagainya.
3. Kesimpulan dan saran
Dari Hal diatas kita berharap di tahun 2008 ini praktek kekerasan dan penganiayaan (bullying) tidak lagi terdengar di telinga kita. Tentu harapan ini hanya sebatas angan-angan belaka apabila pemerintah kita masih sibuk dengan perebutan kekuasaan dan akumulasi modal, sementara masalah pendidikan masih mereka abaikan. Terakhir, jurusan pendidikan dan keguruan pun harus menjadi prioritas utama berkuliah, demi menghasilkan bibit guru yang profesional, komunikatif, sosiologis, dan edukatif.
KEKERASAN DI SEKOLAH
Sebuah Fenomena Kekerasan dalam Pendidikan
(Tugas Mata Kuliah Pendekatan Sistem Dalam Pendidikan)
Dosen Pengampu: 1. Prof. Dr. Sujarwo, M.S
2. Dr. Basrowi, M.Pd
Oleh :
Kelas A
1. Eis Suryati (0720005088)
2. Feri Fahrizal Mulkan (0720005089)
3. Toto Sugiharto (0720005106)
4. Yusuf Darmawan (0720005079)
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2008
12 Juni 2008 pukul 16.24
Review Artikel :
Etnis Bajo
Rindu Bangku Sekolah
Oleh :
TOTO SUGIHARTO
(0720005106)
Kebijakan pemerintah masa Orde Baru yang menganut paham sentralistik, pada kenyatannya menimbulkan berbagai permasalahan dalam hal kesenjangan di berbagai aspek kehidupan. Tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga kesenjangan di bidang pendidikan antara daerah kota dengan daerah pinggiran.
Kesenjangan ekonomi mengakibatkan tidak tersedianya sarana dan prasarana yang mengakomodasi pendidikan sampai ke daerah terpencil. Salah satunya di Desa Mekar Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Masyarakat etnis Bajo mengalami ketertinggalan dalam bidang pendidikan. Tentu saja ketertinggalan dalam bidang ini akan menyeret pada keterpurukan-keterpurukan berikutnya pada semua aspek kehidupan.
Menurut Dr Anwar Hafidz, penyebab ketertinggalan bidang pendidikan bagi etnis Bajo adalah tidak mendekatnya pendidikan formal ke kawasan suku Bajo. Keadaan tersebut membuat etnis Bajo sama sekali tidak tertarik dengan pendidikan dan enggan pergi sekolah. Pemerintah dalam hal ini, belum memaksimalkan pendidikan di kawasan tersebut. Saat ini, baru ada Sekolah Dasar yang jaraknya lumayan dan ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk memajukan etnis Bajo agar sejajar dengan komunitas lainnya di Sulawesi, maka perlu mendekatkan lokasi pendidikan formal ke kawasan pemukiman masyarakat Bajo.
Menanggapi kondisi penuntasan wajib belajar sembilan tahun di wilayah Indonesia yang menghadapi berbagai kendala, Mendiknas mengatakan, kondisi negara Indonesia yang berpulau- pulau dan berjenis suku ini memerlukan pendekatan pendidikan yang khas. Tujuannya untuk menjangkau masyarakat agar menyadari pentingnya pendidikan untuk pemberdayaan dan melepaskan diri dari kemiskinan.
Usaha memajukan pendidikan pada masyarakat etnis Bajo sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosio cultural yang ada dan berlaku pada masyarakat disana. Banyak hal yang seharusnya dilakukan untuk memajukan etnis Bajo dalam bidang pendidikan. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan pembelajaran kreatif, misalnya dengan menyelenggarakan kelas berjalan menggunakan perahu terapung.
Pendekatan ini sesuai dengan kondisi sosio cultural masyarakat etnis Bajo yang merupakan masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupan ekonominya pada sektor kelautan. Pendekatan ini akan menghilangkan, atau setidaknya mengurangi batasan atau kendala jarak untuk mengakses pendidikan Dengan pedekatan ini, masyarakat tidak perlu melakukan perjalanan jauh ke sekolah. Pelayanan pendidikan dapat dilakukan tanpa terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari mereka.
Jika pendekatan ini terus dilakukan, ditambah dengan melaksanakan perbaikan dan penyempurnaan pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosio cultural masyarakat etnis Bajo dan dengan menyelenggarakan pendididkan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan daerah, bukan tidak mungkin akan muncul putra daerah yang akan mempunyai pengetahuan luas dan keahlian tinggi yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Bibit-bibit ini yang selanjutnya dapat dijadikan agen pembelajar bagi masyarakat.
Pada dasarnya, kondisi geografis, kekayaan alam dan sumber daya manusia pada masyarakat etnis Bajo mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Seperti dikatakan oleh Dr Anwar Hafidz dalam artikel di atas, pada dasarnya orang Bajo mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi. Keberhasilan dalam pengembangan potensi SDM ini akan melahirkan generasi yang dapat mengeksplorasi kekayaan laut Sulawesi, bahkan bisa jadi, akan ada permintaan bantuan keahlian masyarakat etnis Bajo untuk mengelola sumber daya laut dari daerah lain.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara maritim, yang kekayaan sumber daya kelautannya sangat besar, maka peningkatan kesempatan dan kualitas pendidikan masyarakat etnis Bajo sebagai masyarakat pelaut, akan sangat potensial untuk dapat memajukan perekonomian Indonesia dari sektor kelautan dan perikanan.
Etnis Bajo
Rindu Bangku Sekolah
(ARTIKEL)
http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=19633&rubrik=1&topik=9
BAJO hanyalah satu dari sekian etnis yang hidup di Sulawesi Tenggara. Mereka adalah komunitas manusia laut yang memiliki kontribusi pada pembentukan Kota Kendari, tetapi sampai saat ini masyarakat Bajo masih saja terbelakang dalam bidang pendidikan dan ekonomi.
Rata-rata etnis Bajo hanya menamatkan pendidikan pada level SD, seperti disebutkan dalam hasil penelitian La Ode Muharram, praktisi pendidikan di Universitas Halu Oleo (Unhalu) yang menyimpulkan 94 persen anak-anak Bajo putus sekolah, sisanya hanya tamat SMU.
Keadaan tersebut mengakibatkan etnis Bajo khususnya yang mendiami pesisir laut Desa Mekar Bajo menjadi masyarakat yang marjinal, terpinggirkan dari keramaian dan geliat pembangunan di Sulawesi Tenggara.
Program pemberdayaan untuk masyarakat Bajo menurut Dr Anwar Hafidz, ahli sejarah yang meneliti dalam aspek pendidikan etnis Bajo, sebenarnya banyak dilakukan di komunitas Bajo tersebut, tetapi pemberdayaan selama ini yang dilakukan pemerintah bagi etnis Bajo tidak diiringi dengan sistem pendidikan terpadu. Akibatnya, kucuran dana untuk berbagai bentuk kegiatan tidak pernah sukses bahkan habis tak menentu.
Disebutkan Anwar, bantuan pemerintah selama ini untuk etnis Bajo tidak mendidik secara langsung bagaimana etnis Bajo itu bisa meningkatkan skil dan keahlian lainnya. Pemerintah belum memerankan fungsi bagaimana masyarakat Bajo bisa berkembang dan memilik kecakapan hidup yang mampu mendukung kehidupan dan masa depan mereka.
"Saya juga tidak menyalahkan etnis Bajo seluruhnya, tetapi kita harus memacu percepatan dan ada aksi yang dilakukan pemerintah untuk orang Bajo," kata Anwar.
Menurut Anwar Hafidz, harus ada agen pembaharu untuk membangun dan mensejajarkan masyarakat Bajo dengan etnis lainnya yang lebih maju secara pendidikan dan ekonomi. "Dekatkan etnis Bajo pada pendidikan yang sejalan dengan dunia mereka dan dekat dengan keseharian mereka," katanya.
Rendahnya tingkat pendidikan bagi etnis Bajo, belakangan sering dikaitkan dengan tindakan para nelayan Bajo yang mulai mencari ikan dengan memakai bom. Cara tersebut kemudian memberikan stigma bagi masyarakat Bajo yang dijuluki Si Tukang Bom.
Mengomentari sebutan tersebut bagi etnis Bajo, Anwar Hafidz mengatakan, semua pihak tidak harus menyalahkan orang Bajo. Karena kondisi tersebut berdasarakan penelitiannya, diakibatkan etnis Bajo belum mampu bersaing dengan nelayan lain yang sudah memakai sistem modern dalam menangkap ikan. "Jika pemerintah memberikan alternatif bagi masyarakat Bajo, maka menangkap ikan dengan cara membom tidak akan terjadi lagi karena mereka juga tahu bahayanya." kata Anwar.
Disebutkan Anwar, pemerintah hanya melarang tetapi tidak memberikan solusi. Seharunya ada agen yang bisa mendampingi masyarakat Bajo dan memberikan bimbingan dalam setiap program pemberdayaan pada etnis Bajo. "Orang Bajo sebenarnya cerdas, jika selama ini terlihat tertinggal itu karena kebijakannya dan sistem yang layak saja yang belum berpihak kepada mereka," sebut Anwar.
Terdapat hal lain yang paling menarik dari etnis Bajo dalam menjalani hidup. Antara lain sikap disiplin, contoh ketika mereka menambatkan perahu di pesisir pantai, dia tahu satu dua jam kemudian harus diambil. Jika tidak diambil, masyarakat Bajo tidak akan jadi melaut, karena air sudah surut dan perahu tidak bisa ditarik ke lepas pantai.
Soal waktu, masyarakat Bajo juga merupakan etnis yang disiplin dan tepat waktu. Ketika mereka harus melaut pukul 04.00 sebelum shalat shubuh, maka mereka akan bangun dan langsung pergi melaut. Mereka tidak pernah mengingkari waktu tersebut. "Kondisi seperti ini sebenarnya tipe masyarakat yang modern dan terpelajar. Jadi sendi modernitas dan kaum terpelajar sudah dimiliki masyarakat Bajo, cuma formalnya saja yang belum mereka nikmati sehingga kecerdasan dan keterampilan sepertinya tertutupi, " kata Anwar.
Dikisahkan Anwar Hafidz yang telah lama berkecimpung dengan etnis Bajo, masyarakat Bajo tergolong kreatif. Hal tersebut menurut Anwar bisa dilihat ketika dirinya memberikan pelatihan pembuatan kerupuk ikan. Salah satu peserta mengajukan pertanyaan, apakah bisa menjadi kerupuk kerang dan tidak hanya ikan? maka mereka menggantinya dengan kerang dan jadilah kerupuk kerang dan seterusnya. Mereka selalui kreatif dan inovatif dalam berkarya. "Dasar seperti inilah yang sebenarnya bisa mengangkat derajat kehidupan etnis Bajo melalui pendidikan formal yang relevan dan sesuai dengan geografis etnis Bajo," kata Anwar.
Obrolan saya dengan Dr Anwar Hafidz di Universitas Halu Oleo (Unhalu) tentang etnis Bajo di negeri penghasil Kakao tersebut berakhir pada satu kesimpulan, bahwa mengantarkan etnis Bajo kepada kehidupan yang modern dengan tidak meninggalkan budaya leluhurnya sebagai pelaut ulung, haruslah ditempuh dengan langkah bijak pemerintah. Pemerintah harus mendekatkan komunitas etnis Bajo kepada pendidikan formal yang nyata dalam kehidupan manusia laut itu. Layaknya, menurut Anwar di kawasan pesisir Bajo atau di Kendari didirikan sekolah atau akademi pelayaran atau perikanan.
Saat ini pendidikan bagi etnis Bajo masih sangat jauh dari yang diharapkan, permasalahannya masih berkutat pada belum relevannya sistem pendidikan bagi etnis Bajo. Anak-anak Bajo menurut Anwar memerlukan pendidikan alternatif dan kesesuaian dalam belajar untuk mengantarkan masyarakat Bajo masa depan yang lebih berpendidikan dan mampu sejajar dengan etnis lain di Sulawesi yang selangkah lebih maju ketimbang etnis Bajo. "Ini akan menarik perhatian etnis Bajo karena laut dan ikan adalah dunianya. Inilah sistem pendidikan yang akan mampu mengangkat sisi hidup masyarakat Bajo masa depan sebagai manusia pecinta laut," katanya.
Bercengkrama dengan etnis Bajo sungguh mengasyikan, sayang hari itu matahari mulai condong ke arah barat. Gelombang laut pesisir Bajo mulai nampak beriak pertanda hendak menjemput perahu-perahu bajo pergi berlayar. Selesai menyantap ikan yang dihidangkan dengan beragam cara memasaknya di rumah keluarga Aco, pemuda etnis Bajo yang memandu saya. Saya terpaksa harus pamit meninggalkan etnis Bajo yang bersahabat dengan siapapun yang datang ke Desa Mekar Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe tersebut. Senyum persahabatan tersungging lepas dari keluarga masyarakat Bajo di Desa Mekar Bajo ketika melepas saya meninggalkan perkampungan etnis penguasa laut Sulawesi tersebut. Melaju dengan kendaraan bermotor menyusuri debu jalan pesisir Desa Mekar Bajo sepanjang 17 kilometer, akhirnya saya kembali menghirup udara Kota Kendari yang ramai oleh hiruk pikuk kehidupan manusia dengan beragam aktivitas, sungguh jauh berbeda dengan keheningan dan desiran ombak yang bersahabat di Mekar Bajo.
12 Juni 2008 pukul 16.25
POLA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI KALANGAN KELUARGA ACEH
Pendidikan Etnis
(Review Artikel)
(Tugas Mata Kuliah Pendekatan Sistem Dalam Pendidikan)
Dosen Pengampu: 1. Prof. Dr. Sujarwo, M.S
2. Dr. Basrowi, M.Pd
Oleh :
Eis Suryati
(0720005088)
Kelas A
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2008
POLA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI KALANGAN KELUARGA ACEH
Dr. M. Nasir Budiman, MA
http://lpkub.org/Jurnal%20KUB/pmkaceh.htmS
Copyright©2006 LPKB Perwakilan Medan
elasa, 26 Juni 2007
Selasa, 26 sssssealasa Junsel007ssssi 2007 Pendahuluan
Masyarakat Indonesia dapat dikatakan sangat majemuk atau plural. Kemajemukannya di lihat dari dua sisi, yaitu horizontal dan vertikal. Secara horizontal kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan etnis, agama, bahasa dareah, geografis, adat istiadat, dan budaya. Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia, mempunyai 17.667 pulau besar dan kecil, dan mencapai 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu
Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) terletak diujung Barat pulau sumatera sehingga NAD merupakan propinsi paling Barat Di Indonesia. Daerah yang berada pada posisi 2-60 Lintang Utara (LU) dan 95-98 Bujur Timur (BT) ini berbatasan dengan Laut Andaman di sebelah Utara Samudera Indonesia. Luas wilayah yang dilingkupi 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai ini adalah 57.365.57 km atau 2.89% dari luas Indonesia.
Secara histories, masyarakat Aceh terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil sebelum dikukuhkan menjadi kerajaan Aceh Darusalam. Kerajaan- kerajaan kecil ini, antara lain kerajaan Indrajaya, Indrapura, Indrapatra, Pasai, Benua, Daya, peureulak , Ide, Pidie, Meolaboh dan Linge. Masing-masing kerajaan memiliki adat istiadatnya sendiri-sendiri variasinya itu masih tampak sampai sekarang, disampai itu, dialek dan bahasa pun beragam, antara lain bahasa Aceh itu sendiri sebagai bahasa utama dengan berbagai macam dialek, dan di antara bahasa daerah di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam antara lain terdiri dari bahasa Gayo, Alas, Aneuk Jamei (Minang), bahasa Melayu di Tamiang, dan bahasa Kluet.
Dilihat dari sisi agama, masyarakat Aceh (khususnya suku Aceh) semuanya menganut agama Islam, sementara agama lain seperti Kristen Protestan, katolik, Budha dan Hindu juga ditemukan di Nanggroe Aceh Darussalam, pemeluknya terdiri dari berbagai suku pendatang. Walaupun masyarakat Aceh dikenal sebagai suku yang taat beragama dan terkesan fanatik, ternyata di NAD ditemukan 19 gereja Katolik, 19 gereja Protestan, 6 Kelenteng dan 3 Kuil berdiri tegak dengan damai di samping rumah ibadah kaum Muslimin yang terdiri dari 2.633 Masjid dan 8.701 Muenasah (Musalla).
Dipihak lain, justru faktor kemajemukan (muntikultural) inilah sering terjadi konflik antar kelompok masyarakat. Konflik-konflik antar kelompok masyarakat akan melahirkan distabilisasi keamanan, sosial-ekonomi, bahkan disharmonisasi sosial. Akar konflik, menurut Syafri Sairin, pertama, perebutan sumber daya, alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic resources and to means of production); kedua, perluasan batas sosial budaya (social and cultural borderline expansions); dan ketiga, benturan kepentinga politik, ideologi dan agama (conflict of political, ideology, and religious interest).
Dari landasan berpikir di atas,kajian ini difokuskan pada model pendidikan keluarga, unsur multikultural dalam tradisi pendidikan keluarga, kelebihan dan kekurangan pendidikan keluarga dilihat dari perspektif multikultural dan strategi pengembangan pendidikan multikultural dalam keluarga Aceh. Semua kajian tersebut dilihat dari tradisi atau adat istiadat di kalangan keluarga Aceh.
Model Pendidikan Keluarga di Kalangan Masyarakat Aceh
Keluarga merupakan salah satu pusat pendidikan dari tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat), keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama bagi setiap orang. Karena itu, pusat pendidikan ini memegang peranan penting dalam pembentukan dasar-dasar (fondasi) kepribadian anak.
Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam), anak merupakan permata hati, hiasan hidup atau penghibur hati bagi ibu bapaknya, karena itu, tidak terkecuali keluarga di kalangan masyarakat Aceh akan berupaya sekuat tenaga agar putra-putrinya selalu dapat dijadikan sebagai tambatan hati mereka.
Di samping itu, keluarga adalah sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat (kasih sayang), keharmonisan , kejujuran, dan berbagai sifat lainnya. Dalam literatur agama dikenal ungkapan al-mar’ah ‘imad al-bilad (wanita adalah tiang negara), maka pada hakikatnya dapat pula dikatakan bahwa al-usrah ‘imad al-bilad biha tahya wa biha tamut (keluarga adalah tiang negara, melalui keluargalah negara ini bangkit atau bangkrut).
Sebagai pendidikan formal, pendidikan keluarga yang terjadi di mana saja, termasuk pendidikan keluarga di kalangan masyarakat NAD, dalam kehidupan sosialnya disebut model pendidikan learning society; tugasnya adalah menciptakan kondisi dan iklim pendidikan yang sesuai menurut kehidupan sosial, sedangkan isi programnya bersifat kasuistik sesuai dengan tugas pokok keluarga, yaitu menumbuh-kembangkan kepribadian putra-putrinya menjadi manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Penciptaan kondisi dan iklim pendidikan (learning society) yang diwujudkan dalam tradisi kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Aceh melalui aktivitas ‘ubudiyah mahdah. Berikut ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Syahadatayn: Pengucapan dua kalimah Syahadatayn (Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammad Rasul Allah) ini, secara ritual dan formal, telah diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Aceh pada beberapa aktivitas formal dan sakral, antara lain, ketika pelaksanaan “Peusunat” (Khitan), pelaksanaan Peusijuek (tepung tawar) dan pelaksanaan ijab qabul nikah.
Pengucapan kedua kalimah Syahadah tersebut pada kegiatan-kegiatan ritual merupakan mission statement, untuk menetapkan misi masa depan sebelum melangkah. Misi yang diikrarkan dalam bentuk syahadah itu dapat membentuk sebuah tekad dan komitmen yang bulat, berupa perjanjian yang mengikat antara seorang manusia dan Allah Sang Pencipta. Inilah sumber kekuatan dahsyat bagi orang yang beriman dan bertaqwa, dan pada gilirannya akan mendorong jiwanya untuk bergerak mencapai visinya.
Sebagai orang yang mempunyai komitmen yang tinggi tidak menjadi suatu kendala untuk berhubungan dengan berbagai pihak lain walaupun berbeda kultur, karena dengan komitmen iman dan taqwa justru tidak memandang pihak lain sebagai suatu yang berbeda, kecuali masing-masing saling berfastabiq al-khayat ke arah yang lebih baik (taqwa).
2. Shalat: Shalat merupakan ubudiyah yang paling utama bagi umat Islam, maka seorang anak di NAD dibiasakan sholat sejak berumur tujuh tahun dan dipukul bila meninggalkan sholat ketika berusia epuluh tahun. Modal pendidikan seperti ini diadopsi langsung secara tekstual pada hadist nabi Muhammad saw berikut ini : Artinya : suruhlah sholat anak-anakmu apabila telah mencapai usia tujuh tahun. Dan ketika telah berusia sepuluh tahun, maka pukullah bila meninggalkan sholat. (H.R. Tarmizi).
Masyarakat Aceh yang tidak mengerjalan ibadah shalat wajib 5 waktu sehari semalam dianggap sebagai kaplat (gelar yang sangat menjijikan di berikan kepada orang yang tidak mahu atau meninggalkan shalat),sehingga mereka tidak diperkenankan untuk menyembelih hewan, kalau diketahui bahwa hewan disembelih oleh mereka yang tidak shalat, maka masyarakat Aceh tidak mahu memakannya.
Sebagai tiang agama, ibadah shalat juga dianggap oleh masyarakat Aceh sebagai kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang mampu berfikir dan berzikir, sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki ketangguhan pribadi (personal strength).
Model pendidikan keluarga semacam ini dapat dikategorikan model indoktrin, dimana pendidikan berpusat pada pendidik (Teacher Centered), di satu pihak proses pendidikan semacam ini, memang dapat mewujudkan ketangguhan pribadi (personal strength) pada anak, namun belum tentu nilai-nilai shalat yang mengacau ke arah nilai multikultural akan terwujud, seperti nilai persatuan dan kesatuan, saling memperhatikan kesejahteraan bersama.
3. Zakat: Sudah menjadi kebiasaan ketika musim panen tiba, masyarakat Aceh memanggil Kechiek (kepala desa) dan Teungku Meunasah (Imam Mushalla) untuk mengambil zakat dari hasil pertanian atau perkebunannya, demikian juga bagi muzakki (pembayar zakat) ems, perak, perniagaan, hewan dan lain-lain memanggil mereka untuk mengambil zakat. Keuchiek dan Teungku Meunasah dibantu oleh para pemuda yang mengumpulkannya dan ketika ditemukan ada masyarakat yang belum membayar zakat, ditegur dan diberi nasehat supaya mereka menjadi sadar membayar zakat.
Kebiasaan kerja sama (team work) dalam pengumpulan zakat dalam masyarakat Aceh juga dilakukan ketika zakat didistribusikan kepada mustahaq (penerima zakat), dan apabila ada yang tertinggal, maka yang bersangkutan dapat meminta kepada Keuchiek atauTeungku Meunasah. Kerjasama semacam ini merupakan suatu upaya pencapaian yang jauh lebih efektif dan lebih efisien, dibandingkan dengan bekerja secara perorangan. Hampir semua orang menyadari akan arti pentingnya “team work”, yaitu akses, modal dan skill.
Akses yang dimaksudkan disini adalah hubungan atau jaringan (network) antara Keuchiek, Teungku Meunasah dan para pemuda dan pengumpulan dan pembagian zakat, demikian juga hubungan antara mustahiq dan mustahaq serta ‘amil zakat itu sendiri terjalin dengan baik (transfaransi). Modal adalah suatu bentuk kekuatan finansial (zakat) yang terkumpul melebihi dari kebutuhan mustahaq. Sedangkan skill merupakan keahlian petua adat dan ulama yang menjadikan aktivitas pembayaran, penerimaan dan pembagian zakat secara efektif dan efisien serta menjadi adat kebiasaan masyarakat Aceh.
4. Puasa: Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat didambakan oleh setiap keluarga di NAD, karena tradisi menyambut bulan suci ini sungguh mengembirakan, seperti kebiasaan pulang dari rantau semua masyarakat Aceh yang berdagang keluar daerah untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan (masyarakat sekitarnya) pada akhir bulan sya’ban.
Kaum ibu (perempuan) mempersiapkan bahan untuk sahur dan berbuka puasa berupa breueh Kanji Masam Pedeih (bubur rumbi atau semacam bubur ayam) terbuat dari campuran dedaunan, rempah-rempah dan beras kemudian di satukan dan di tumbuk. Disamping itu, pada hari Meugang (dua hari sebelum Ramadhan dilakukan penyelembihan sapi atau kerbau di hari Meugang), maka disamping kaum ibu-ibu mempersiapkan daging terebut untuk makan dan kenduri juga di persiapkan daging rebus (adat Aceh besar), daging kering atau dendeng (adat seluruh Aceh) untuk keperluan makan sahur di bulan Ramadhan.
Untuk meningkatkan kemampuan kendali diri sejak anak-anak dibiasakan berpuasa. Selama bulan ramadhan di larang membuka warung atau toko-toko makanan lainnya di seluruh NAD, kalau ada yang membuka akan di kenakan denda sesuai dengan yang di sepakati bersama. Pada malam hari semua masyarakat melakukan sholat tarawih di Meunasah atau Masjid yang tersekat di tempat tinggal masing-masing, dan pada sholat tarawih langsung semua toko atau kedai di tutup.
Tradisi lain yang masih berlangsung sampai sekarang adalah saling memberi makanan berbuka puasa kepada jiran (tetangga) atau famili walaupun tempat tinggalnya berlainan desa sekalipun. Tradisi ini dapat menciptakan ukhuwah (persaudaraan) yang intim antar sesama.
Orang-orang dewasa atau laki-laki dan pemuda sudah menjadi kebiasaan berkumpul di Meusanah atau Masjid pada bulan ramadhan. Disini terjadi komunikasi yang intim, saling tukar pendapat antara masyarakat yang baru pulang dari perantauan dengan masyarakat yang menetap di kampung halamannya (desa) serta dengan para pemuda sehingga pengalaman-pengalaman baru dapat dijadikan sebagai pedoman kehidupan mereka.
Pengalaman yang dibawah dari luar membuat peserta didik mengagumi, memahami, menghayati dan menjdikan kultur luar untuk di amalkan sejauh tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, maka karena itu, tidak mustahil banyak kultur yang berasal dari luar Aceh telah di adopsi oleh masyarakat Aceh.
Suasana bulan suci ramadhan yang indah, penuh kegembiraan seperti itu telah menjadi adat di kalangan masyarakat NAD, sehingga ibadah puasa dapat di jadikan sebagai sebuah bentuk pelatihan untuk mengendalikan suasana hati. Suasana hati bisa sangat berkuasa atas wawasan, pikiran, dan tindakan seseorang. Ketika kemarahan memuncak, suasana hati sering kali bergolak tak terkendali. Tekanan yang kian menumpuk terus membengkak hingga mencapai titik batas, dan terus menumpuk, mendekati titik kritis yang tak tertahankan. Maka persoalan kecil menjadi besar, yang besar akan semakin besar, bahkan meledak bagaikan ledakan gunung berapi yang menyemburkan laharnya ke semua penjuru tak terkendali, hanya melalui latihan dalam berpuasa akan mampu mengendalikan suasa hati semacam itu menjadi tenang.
5. Haji: Tradisi menunaikan haji pada masyarakat Aceh dahulu (beda dengan sekarang) pertama, dilakukan ketika sudah berumur 55 tahun ke atas dengan harapan ia meninggal di Mekkah, kedua, ketika mereka tidak mempunyai bebas dari hutang, ketiga, setelah putra-putrinya dikawinkan semua.
Tradisi semacam itu dilakukan dengan harapan sepulang dari haji mereka tidak lagi cinta terhadap harta (kekayaan), mereka tinggal beribadah kepada Allah SWT serta melakukan berbagai kegiatan sosial lainnya. Bahkan hampir semua haji, pada saat itu, menjadi ulama karena di samping mereka menunaikan ibadah haji juga mereka menuntut ilmu pengetahuan di sana, terutama ilmu Fiqh.
Pengalaman yang di dapat dari tanah suci (Madinah dan Mekkah), ditemukan berbagai kultur dan adat kebiasaan suku bangsa lain, terutama tentu telah menjadi pengalaman yang berguna dalam hidup kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa.
Dalam penciptaan kondisi dan iklim pendidikan sesuai dengan tugas pokok keluarga, maka model pendidikan keluarga masyarakat Aceh diorientasikan pada firman Allah dalam surat al-Tahrim ayat 6 : Artinya : Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluagamu dari siksaan api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan bebatuhan …
Firman Allah tersebut mengisyaratkan bahwa tugas utama keluarga dalam masyarakat muslim adalah menjaga diri dan keluarganya dari siksaan api neraka. Penjagaan yang didasarkan pada bingkai atau kerangka ritus dan formalitasnya sebagai umat yang taat bergama (Islam).
Ritus dan formalitas memang (yang dalam hal ini terwujud dalam bingkai Islam seperti apa yang bisa disebut Rukun Islam) baru mempunyai makna hakiki jika mengantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuan yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT dan kebaikan kepada sesama manusia (al-akhlaq al-karimah).
Dengan demikian, model pendidikan keluarga di kalangan masyarakat Aceh adalah model integratif, yaitu menyatukan antara pendidikan tentang ritus formal ‘ubudiyah mahdah dengan pendidikan nilai kehidupan yang humaris. Dengan terinternalisasi nilai kehidupan yang humaris ke dalam diri putra-putri Aceh diharapkan akan terinternalisasi pula nilai-nilai kehidupan berbagai suku bangsa lain.
Unsur Multikulturalisme dalam Tradisi Pendidikan Keluarga di Masyarakat Aceh
Pendidikan merupakan hak asasi bagi manusia, termasuk manusia Indonesia, maka pendidikan tidak perlu menjurus kepada uniform (keseragaman). Akibat sistem pendidikan diarahkan ke arah keseragaman itulah bangsa Indonesia, kata Dr. Mudji Sutrisno dosen STF Driyakarya Jakarta sebagaimana dikutip oleh Musyafa Ullah, tidak menghargai adanya perbedaan satu sama lainnya, persatuan dan kesatuan telah terkoyak-koyak dan tercabik-cabik, seakan-akan semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah lenyap di bumi pertiwi ini.
Sebagai salah satu pusat pendidikan, keluarga juga memegang peranan penting untuk mewujudkan manusia yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dalam perspektif masyarakat Aceh untuk pewarisan budaya sangat tergantung pada orang tua (ayah dan ibunya). Karena itu pendidikan keluarga multikultural merupakan suatu keniscayaan di mana saja, termasuk di Aceh. Mengingat sering terjadi konflik di Nanggroe Aceh Darussalam, maka unsur-unsur pendidikan keluarga multikultural menjadi penting dikaji di kalangan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam.
Kajian terhadap pendidikan keluarga multikultural lebih di titik beratkan pada domain afektif (terkait dengan emosi senang dan tidak senang), bukan pengajaran yang lebih diutamakan pada domain kognitif dan psikomotor. Karena itu, keteladanan dan pola hubungan antara kepala keluarga dan anggota keluarga serta hubungan dengan masyarakat sekitarnya yang dijadikan fokus kajian ini. Pola hubungan terkait dengan komunikasi, baik komunikasi lisan (maqal) maupun af’al (perbuatan), komunikasi lisan melalui bahasa lisan, sementara komunikasi af’al melalui bahasa perbuatan, namun dalam hal tertentu memang bahasa lisan dapat dijadikan sebagai falsafah hidup bagi lahirnya sikap (‘amal).
Dilihata dari komunikasi bahasa lisan, unsur-unsur multikulturalisme dalam tradisi pendidikan keluarga Aceh dapat dikemukakan beberapa unsur tradisi kehidupannya; unsur hubungan dengan teman, perkampungan, desa dan komunitas, kekerabatan dan pola hubungan sosial berikut ini :
1. Unsur Pemilihan Teman: Berteman atau persahabatan merupakan ciri khas dan sifat interaksi pada masa anak mulai remaja awal, meskipun pada masa ini terjadi “keguncangan” persahabatan, ternyata dalam salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kelompok yang besar masih juga terdapat dua atau tiga orang remaja yang sangat bersahabat. Terjadinya persahabatan yang intim semacam itu biasanya disebabkan mereka mampu melakukan penyesuaian diri.
Penyesuaian diri dalam pandangan keluarga Aceh terlihat dalam falsafah hidup yang selalu diingatkan kepada putra-putrinya, yaitu
Bak ie raya beik ta theun eumpeh (air bah tidak dapat ditahan dengan ranting)
Bak ie tireih beik ta theun bubee (air yang bocor tidak dapat ditambat bubu)
Beik ta meurakan ngoen si paleih (jangan berteman dengan orang jahat)
Areuta teuh abeih geutanyoe malee (harta pun habis kita pun malu)
Falsafah hidup Aceh tersebut sukar dipahami secara tekstual, pengertiannya adalah pada dasarnya, orang tua membolehkan berteman dengan siapa saja, kecuali orang yang tidak baik budi pekertinya (si paleih), karena kalau berteman dengan orang yang semacam itu dikhwatirkan akan terpengaruh berbuat hal-hal yang tidak di inginkan oleh agama dan akan membawa aib di mata masyarakat. Karena dalam tradisi masyarakat Aceh berbuat hal-hal yang dilarang agama merpakan perbuatan yang sangat aib atau malu (Aceh : malee).
Makna yang lain, berteman dengan orang yang tidak baik budi pekertinya (si paleih) ibarat berteman dengan kera. Kera yang telah jinak, memang sangat patuh dan setia kepada tuannya, karena kesetiaan dan kepatuhan kepada tuannya ia selalu menjaga tuannya siang malam, pada suatu ketika tuannya tidur-tiduran di bawah pohon hinggaplah seekor nyamuk di kening tuannya, kera tersebut sangat marah kepada nyamuk yang telah menggigit tuannya, maka diambil sebuah batu besar, kemudian dipukul nyamuk tersebut yang hinggap di kening tuannya.
Falsafah hidup Aceh ini selalu ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam pemilihan teman sejawat. Keluarga di kalangan masyarakat Aceh menyadari bahwa berteman merupakan suatu persahabatan antar remaja yang sangat bermanfaat, para remaja dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan mengisi waktu luang. Bahkan yang lebih penting lagi adalah remaja merasakan dibutuhkan, dan dihargai sehingga merasa puas dalam berinteraksi sosialnya.
Dalam penilaian terhadap prilaku pihak lain (pemilihan teman), baik atau tidak baik, orang tua memberi nasehat untuk berhati-hati dengan ucpan :
Tajak beutrouh ta kaloen beudeuh (datang dan lihat dengan mata sendiri)
Beik rugoe meuh sakeit atee (agar tidak sesal kemudian)
Petuah orang tua tersebut mengandung pengertian bahwa penilaian baik atau tidak baik seseorang (teman) perlu di selidiki sendiri, bukan atas pertimbangan informasi dari orang lain yang belum tentu jelas kebenrannya. Perhatikan petuah berikut ini :
Menyoe koun ie mandum leuhoub (selain air semua lumpur)
Menyoe koun droe teuh mandum goub (kalau bukan diusahakan sendiri
semuanya akan hancur)
Tujuan orang tua memberi nasehat dengan petuah tersebut agar putara-putrinya mempunyai sikap percaya diri; dalam kajian ini di maksudkan ketika terjadi pemilihan teman yang baik disamping harus di teliti sendiri, juga di harapkan kesimpulan yang di ambil itu menjadi tidak ragu-ragu lagi atau percaya diri.
Keragu-raguan dalam Islam, merupakan suatu sikap yang harus dihindari atau di tinggalkan, karena itu untuk menghilangkan keragu-raguan diperlukan kepada penelitian sendiri sampai muncul suatu keyakinan yang teguh. Dalam kaitan ini nabi Muhammad SAW bersabda : Artinya : tinggalkan sesuatu yang masih ragu-ragu sampai benar-benar tidak ada keraguan sama sekali (yakin).
Seseorang yang memiliki kepercayaan diri, di samping mampu mengendalikan dan menjaga keyakinan dirinya, juga akan mampu membuat perubahan lingkungannya menjadi sinergi. Maka budaya “merunduk-runduk” kepada pihak lain (atasan misalnya) merupakan suatu hal yang membuat terhambatnya informasi.
Ketika kepercayaan diri semakin tinggi, mission statement pun turut terpengaruh, sehingga statement sebagai ” teman” berubah menjadi statement “persaudaraan” . Dalam pendidikan keluarga Aceh dikenal dengan bermacam-macam persaudaraan (yang disebut dengan wareih), yaitu wareih lingka (saudara tetangga), wareih seubut (saudara angkat), wareih gampoung (saudara sedesa), wareih Nanggroe (saudara senegara) dan lain-lain.
Dari mission statement persauadaran yang multikultural di NAD tersebut tanpak pada keberagaman masyarakat Aceh itu sendiri. Karena asal muasal masyarkat Aceh sangat beragam, antara lain berasal dari Arab campa,Eropa (khususnya portugis dan hindia atau hindu bali).
Pendapat yang lain mengatakan pada tahun 300 sebelum masehi (SM) muncul migrasi dari jenis bangsa Deutro melayu (melayu muda) yang datang dari daerah yang sama dengan melayu tua, yaitu daratan benua Asia (Indocina dipesisir campa dan khmer.) Melayu muda ini mengasingkan diri kepedalaman, dari sana mereka melahirkan keturunan Batak di Sumatera Utara, dan Gayo serta Alas bagi yang menyingkir ke dareah Aceh. Dalam keragamannya, masyarakat Aceh tidak membedakan antara satu suku dengan suku lain, karena masyarakat Aceh itu sendiri terdiri dari beragai suku bangsa, sebagaimana telah dikemukakan di atas, dengan demikian,tradisi pendidikan keluarga di kalangan masyarakat Aceh dapat di katakan menganut pola pendidikan multikultural, hal ini dapat difahami dari petuah orang tua sebagaimana berikut ini :
Ureung Aceh that meuragam (orang Aceh sangat beragam)
Ladom puteh ladom itam) (sebagian berkulit putih sebagian hitam)
Ladom paneuk ladom panyang (sebagian pendek sebagian jangkung)
Udep saree matee sajan (sehidup semati tetap bersama)
Maksud dari kata petuah orang tua di kalangan masyarakat Aceh tersebut adalah masyarakat Aceh sangat memahami adanya keberagman masyarakatnya, namun hubungan interaksi antar sesama seakan-akan terasa sehidup semati dalam suka dan duka.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan, bahwa pendidikan keluarga Aceh terhadap tata relasi hubungan antar sesama manusia (berteman) pada awalnya sangat selektif, akan tetapi setelah di ketahui orang tersebut memiliki sikap yang baik dan berilmu pengetahuan, maka akan dijadikan sebagai teman, sahabat, bahkan dianggap sebagai saudara yang tidak dapat dipisahkan lagi seperti saudara kandung.
2. Perkampungan, desa dan komunitas: Komunitas terkecil di Nanggroe Aceh Darussalam di sebut Gampoung (kampung). Perkampungan di Aceh berada di daerah pesisir pantai dan sebahagian lainnya di sela-sela bukit atau pinggir hutan. Perkampungan itu ada yang berada di tengah areal persawahan, perkebunan atau sepanjang jalan raya. Dahulu perumahan dalam satu kampung umumnya dibangun secara kelompok, letak satu rumah dengan rumah lainnya nyaris tidak terbatas secara jelas, bahkan sumber air bersihpun hanya satu sumber, yaitu sumur Gampoung.
Desa merupakan perkumpulan dari beberapa perkampungan yang komonitasnya tidak lagi bersifat homogen seperti komonitas dalam satu perkampungan. Di setiap desa dibangun satu Meunasah (Mushalla atau Surau) dan mungkin pula dibangun sebuah Meuseujid (Masjid).
Secara umum, Meunasah berfungsi sebagai tempat pelaksanaan berbagai aktivitas kegamaan; tempat pengajian anak-anak, tempat berbuka puasa di bulan Ramadhan, tempat shalat lima waktu secara berjamaah, tempat tadarrus, tempat peringatan Hari-hari Besar Islam, tempat akad nikah, tempat kenduri, tempat tidur para pemuda (para remaja) di malam hari. Tak luput secara informal, Meunasah juga dimanfaatkan sebagai tempat istirahat sepulang dari tempat kerja pada sore hari, dan sebagai tempat persinggahan dan bermalam para Musafir (tamu yang bepergian dari berbagai daerah Aceh dan luar Aceh).
Dari tata ruang Gampoung, dapat dipahami bahwa pendidikan keluarga dikalangan masyarakat Aceh sangat mementingkan pola pendidikan multikultural, karena walaupun mereka sangat memperhatikan hubungan yang harmonis secara internal, dengan cara membangun Gampoung atas dasar kekeluargaan (homogen), akan tetapi orang tua tidak membiarkan anak-anaknya terus dikungkung oleh budaya internal, mereka membiarkan anak-anaknya, terutama anak laki-laki (remaja) untuk mecari kultur atau budaya luar melalui tidur di Meunasah.
Di Meunasah para remaja berkumpul bersama dengan anak-anak keluarga lain yang mungkin berbeda suku, dan juga berkumpul dengan para musafir yang singgah dan bermalam di sana, tentu saja akan terjadi komunikasi dengan orang dari bangsa, suku, budaya dan adat istiadat yang berbeda, sehingga para remaja akan terbentuk sikap humaris dan pola kehidupan yang inklusif (terbuka) terhadap berbagai kultur dan budaya.
3. Kekerabatan : Kekerabatan dalam keluarga masyarakat Aceh dipakai garis keturunan berdasarkan pada prinsip bilateral yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki dan garis keturunan garis perempuan. kekerabatan garis keturunan laki-laki disebut wali dan dari garis keturunan perempuan disebut karong atau koy.
Kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan tampaknya tidak ada perbedaan dalam pandangan keluarga masyarakat Aceh, kecuali status wali lebih tinggi dari pada karong pada wali perkawinan dan penerimaan pusaka (harta warisan), namun dilihat dari kedekatan hubungan lebih intim dipihak karong dari pada wali, termasuk adat menetap setelah perkawinan dan pemeliharaan anak yatim dan piatu.
Pola hubungan antara anak laki-laki Aceh dan ayahnya tampak tidak begitu intim, anak laki-laki yang sudah berumur belasan tahun memiliki sikap sungkan berbicara dengan sang ayah, kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan pada sang ayah, maka disampaikan melalui ibunya, di samping itu anak laki-laki Aceh dianggap tidak sopan kalau makan satu meja bersama sang ayah. Demikian juga pola hubungan antara sang menantu dan mertua laki-laki dan perempuan. Namun demikian, tidak berarti mereka tidak saling menyayangi.
Lingkungan tetangga atau komunitas gampong (perkampungan) tampak masyarakat Aceh memperlihatkan solidaritas yang sangat tinggi dalam berbagai bentuk kerja sama yang harmonis. Solidaritas semacam ini ditanamkan kepada generasi mudasejak anak-anak sejak kecil yang berpusat di Meunasah, kemudian berkembang di kalangan tetangga dan masyarakat sedesa.
Citra pendidikan solidaritas dalam keluarga masyarakat Aceh dapat terwujud manusia yang solider yang tinggi, sehingga setiap program yang telah disepakati bersama dapat dijadikan sebagai komitmen kebersamaan walaupun mereka harus menanggung risiko, seperti terlihat pada kata mutiara Aceh:
Meunyo ka ta meupakat ( bila telah disepakati bersama )
Lampoih jeurat ta peugala ( tanah kuburan pun dapat digadaikan )
Kata-kata mutiara tersebut mengandung makna yang paling mendasar bagi pendidikan multikultural keluarga Aceh, karena di dalam kata-kata mutiara tersebutlebih mengedepankan musyawarah dan mufakat dari pada pemikiran sendirai-sendiri, sehingga solidaritas antar sesama anggota mayarakatmenjadi sangat tinggi, bahkan mereka mau berkorban demo menegakkan sikap solidaritas kemasyarakatan tersebut, bukan hanya untuk sesama anggota keluarganya saja melainkan lebih luas lagi solidaritas sosial kemasyarakatan secara umum.
Dengan demikian kekerabatan yang dibangun dalam keluarga masyarakat Aceh tidak hanya terkait pada kekerabatan sesama anggota keluarga sendiri, melainkan terus bertambah ke sesama anggota masyarakat di desanya, kemukiman dan seterusnya sampai kepada kekerabatan sebangsa dan senegara.
4. Pola hubungan sosial: Pola hubungan sosial yang pertama dibangun masyarakat Aceh adalah hubungan yang harmonis dengan jiran (tetangga). Ada sebuah petuah bertetangga yang secara turun-menurun diwarisi oleh masyarakat NAD dari suatu generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk kata hikmah berikut ini:
Ngon ureung lingka beik ta meusaket (jangan sakiti hati tetangga)
‘ouh meusingklet han soe peuglah (Ketika ditemui kesulitan tidak ada yang membantunya).
Sebagai makhluk sosial, manuia harus hidup bertetangga dan berkelompok. Mereka membutuhkan lingkungan sosial yang harmonis agar dapat hidup damai dan tentram.Karena itu, kata hikmah Aceh di atas mengajarkan putra-putri Aceh bahwa ketika ikatan persaudaraan islami dalam bertetengga diabaikan, maka besar kemungkinan hasrat untuk menciptakan lingkungan sosial yang damai dan harmonis sukar terwujud.
Kata hikmah Aceh tersebut juga dapat dimaknai bahwa pembentukan hubungan sosial yang harmonis harus dimiliki sense of belonging (rasa memiliki) dan sense responsibility (rasa tanggung jawab) terhadap tugas dan wewenangdalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan keluarga yang demikian memandang manusi sebagai makhluk makro dan sekaligus makhluk makro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercabut dari kemanusiaannya, sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat beerpijak yang kuat.
Kelebihan dan Kelemahan Pendidikan Keluarga di Kalangan Masyarakat Aceh dari Perspektif Multikultural
Pola dan unsur pendidkan keluarga dikalangan masyarakat Aceh yang telah diuraikan di atas adalah pola dan unsur pendidikan keluarga multikultural di kalangan masyarakat Aceh tempoe doeloe, sayangnya kondisi damai di kalangan masyarakat Aceh telah di usik oleh kolonialis Belanda. Masyarakat Aceh menyambut kehadiran Belanda dengan perang yang melelahkan selama 30 tahun (1873-1904).
Akibat perang yang berkepanjangan itu, memang Aceh tidak dapat ditaklukan oleh Belanda, namun konon tersebut berdampak pada korban jiwa dan dana yang sangat besar, sehingga melahirkan pahlawan seperti Teuku Umar, Cut nyak dien, Teuku panglima Polem dan masih banyak lagi. Sikap patriotisme yang menyala dalam perang tadi begitu mendalam dan terus bersemi dalam kehidupan masyarakat Aceh sampai kapanpun.
Ekses dari sikap patriotisme yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh adalah muncul sikap chauvinisme, yaitu menganggap dirinya lebih kuat, lebih baik dan lebih terhormat dari suku bangsa atau etnis lain. Hal ini terbukti dalam beberapa slogan Aceh terhadap etnis lain, antara lain :
Batak pajouh ureung (orang batak makan orang)
Jawa pajouh gutee (orang jawa makan kutu)
Gayo uriek ulee timphiek (orang gayo ibarat kelapa tua di ambil santannya
Kurang baik di makan pun tidak enak)
Slogan semacam itu tidak diketahui sumbernya, akan tetapi telah berkembang dalam masyarakat Aceh seakan-akan telah menjadi suatu kebenaran dan pegangan, sehingga muncul kecurigaan yang tidak beralasan terhadap etnis lain. Slogan ini biasanya berkembang di kalangan masyarakat Aceh yang tidak atau rendah pendidikannya, maka semakin rendah tingkat pendidikannya maka semakin tinggi pula keyakinan akan kebenaran atas slogan tersebut.
Pola pendidikan keluarga integratif antara lain nilai-nilai ‘ubudiyah dan nilai budaya di kalangan masyarakat Aceh yang telah di bahas di atas, tanpa telah mengacuh pada pola pendidikan multikultural, namun di kalangan masyarakat yang berpandangan salafi cendrung mengambil pola pendidikan integratif antara nilai-nilai ’ubudiyah dan nilai budaya terebut di bangun atas pemahaman ilmu fiqh yang bermazhak syfi’i. Maka apresitif mereka terhadap keragaman mazhab lain agaknya sangat eksklusif dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim) dengan menyalah pandangan atau mazhab lainnya.
Strategi Pengembangan Pendidkan Multikultural Dalam Keluarga Aceh
Ketahanan suatu ide dan padangan atau paham di dalam diri seseorang atau kelompok sosial ditentukan oleh posisi seberapa ia berakar di dalam “dunia batin” atau “daya spiritual”nya. Wawasan multikultural yang hanya sebagai konsensus politik atau wacana pemikiran, mudah berubah bersama perubahan sosial budaya dan tidak memiliki akar di dalam kesadaran hidup.
Karena itu, strategi perkembangan pendidikan multikultural dalam keluarga Aceh di gunakan pendekatan andragobi (pendidikan orang dewasa) dimana dalam proses pendidikan ditempatkan posisi anak pada posisi orang dewasa. Pendekatan ini diasumsikan anak memiliki kemampuan aktif untuk memilih arah dan nilai untuk di pahami dan di milikinya. Fungsi orang tua di sisni adalah pasilitator, maka relasi antara orang tua dan anak bersifat multicomunication. Strategi pendidikan dengan pendekatan ini tidak hanya wawasan multikultural sekedar di ketahui dan dipahami oleh generasi muda, melainkan juga dijadikan sebagai idiologi dan filosofi hidup mereka disebabkan pendidikan di bangun atas dasar kesadaran diri.
Dalam dunia pendidikan keluarga, “kurikulum tersamar” merupakan konsep kurikulum semacam itu mudah dilihat dari harapan pendidikan keluarga multikultural agar anak tidak hanya berkomitmen tinggi terhadap aturan-aturan syari’at Islam yang sedang disosialisasikan dinat, melaikan terhadap misi pendidikan humanistik atau pendidikan kemanusiaan.
Idialitas Islam selama ini lebih dipahami dan di sosialisasi sebagai aturan formal hubungan sosial dan hubungan manusia dengan Tuhan sebgaimana terangkup dalam syari’at. Ilmu syari’at kemudian di pandang sebagai bentuk ideal Islam yang harus ada dalam realitas sosial, ekonomi, budya dan politik. Strategi sosialisainya di gunakan strategi indoktrinasi normatif yang lebih bersesuaian dengan formalisasi politik belaka.
Dengan demikian, strategi pengembangan pendidikan multikultural dalam keluarga Aceh di arahkan kepada tujuan pembebasan masyarakat dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kesengsaraan dan penindasan serta perlakuan tidak adil.
Untuk mewujudkan pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh semacam itu perlu di kembangkan beberapa pendekatan pendidikan keluarga, antara lain pendekatan imani, pendekatan rasional, pendekatan emosional dan pendekatan keterampilan proses.
Prosedur pendekatan imani dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama, transfer iman melalui ritus religius; kedua, pemahaman nilai-nilai iman melalui hadis meja Aceh, pantun, kata-kata hikma atau kata-kata mutira Aceh; ketiga, internalisasi nilai-nilai iman melalui berbagai aktifitas kehidupan; keempat, pemantapan iman dan nilai-nilainya melalui mission statement syahadatayn yang diimplementasikan dalam pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Prosedur pendekatan rasional dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama, pengarahan rasionalitas anak melalui pemberdayaan potensi dan sumber daya anak menurut tngkat pertumbuhan dan perkembangannya; kedua pengembangan rasionalitas mereka ke arah tugas kekhalifahannya di muka bumi melalui aktivitas kehidupan; ketiga, pemantapan rasionalitas mereka melalui pengembangan visi fastabiq al-khayrat (berlomba-lomba ke arah kebaikan).
Prosedur pendekatan emosional dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama pengarahan anak ke arah kesadaran diri (self –awareness) melalui pengenalan emosi sendiri dan efeknya, kekuatan dan batas kemampuannya, keyakinan dan harga diri; kedua, bimbingan kearah pengaturan diri (self-regulation) melalui pengelolaan emosi dan desakan hati yang merusak, pemeliharaan sifat jujur, dan penanggung jawaban atas kinerja pribadi; ketiga, pemberian motivasi melalui dorongan untuk berprestasi , penyesuaian diri dengan sasaran kelompok sosial, pemanfaatan kesempatan; keempat, pemantapan keterampilan sosial melalui komunikasi, negosiasi dan kerja sama.
Prosedur pendekatan keterampilan proses dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama, pengarahan dan pemilihan teman secara selektif melalui nasehat; kedua, pembiasaan untuk membangun jaringan sosial secara harmonis; ketiga, pemantapan tata cara berkomunikasi, berdiskusi, dan bermusyawarah melalui pembentukan organisasi pemuda.
Strategi yang ditawarkan itu merupakan strategi pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh yang ideal dan sangat teoritik, karena itu dalam tataran aplikasi dalam masyarakat dapat disederhanakan menurut kemampuan dan pola fikir masing-masing strata sosial masyarakat Aceh itu sendiri.
Kesimpulan
Pendidikan yang berwawasan multikultural terlihat pada tata cara dan pola pembentukan sikap manusia dalam berbudaya. Keluarga di kalangan masyarakat Aceh membentuk putra-putrinya untuk menghargai nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai agama. Penerapan dilakukan melalui transfer of knowledge, value dan action dalam tata hubungan atau relasi antar sesama anggota keluarga, tetangga, masyarakat Aceh dan masyarakat luar Aceh.
Sejak semula kultur masyarakat Aceh, sesuai dengan eksistensi masyarakat Aceh, memiliki pola hubungan yang multikultural dan inklusif. Namun akibat perang yang berkepanjangan, sehingga akhirnya sebagian kecil masyarakat Aceh terjerat dengan kultur eksklusif.
Daftar Pustaka
Andi Mappiare. Psikologi Remja. Surabaya :Usaha Nasional, 1982.
Ary Ginanjar Agustian. Rahasia Sukses Membngun Kecerdasan Emosional dan Epiritual ESQ. Cet. IV, Jakarta : Arga, September 2001.
Darni Daud dkk. Kurikulum Pendidikan Damai. Banda Aceh : Unicef dan AusAID, 2001
Fairus M. Nur dkk. Membangun Jembatan Hati : Rahasia Sukses Bergaul, Berinteraksi dan Berkomunikasi di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh : Yayasan Ulul Arham, 2001.
Muhammad Husin. Adat Aceh. Cet. 1, Banda Aceh : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1970.
Musyafa Ulllah. “Pluralitas Pendidikan Suatu Keniscayaan”, PERTA : Jurnal Komunikasi Perguran Tinggi Islam, Vol. V/No.01/2002.
Noeng Muhadjir. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial : Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Cet. V, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003.
Nurcholish Madjid. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 2000.
Quraish Shihab, M. Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. III, Bandung : Mizan, 1993.
Sutedjo Sujitno dan Mashud Ahmad. Aceh: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa depan. Banda Aceh : Kantor Sekretariat Gubernur KDH Provinsi Daerah Istimewah Aceh, 1995.
Syafri Sairin. Telaah Pengelolaan Keserasian Sosial dari Literatur Luar Negeri dan hasil Penelitian Indonesia. Jakarta: Kerjasama Meneg. KLH dan UGM, 1992.
Umar, Kebudayaan dan Peranan Wanita Pedesaan Daerah Istimewah Aceh. Jakarta: Depdikbud, 1986.
Usman Pelly dan Asih Menanti. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud, 1994.
Usman Pelly. Kualitas Bermasyarakat : Sebuah Studi Peranan Etnis dan Pendidikan dalam Keserasian Sosial. Medan : Proyek Kerja sama Kantor Meneg KLH-IKIP Medan: 1988
Yusny Saby. “Adat Budaya dalam Hubungannya Dengan Syari’at Islam”. Makalah Seminar Agama, Adat Budaya dan Sejarah Kabupaten Aceh Utara, tanggal 5 s/d 7 Agustus 2003.
Zainuddin. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda,1961.
Review Artikel
Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) terletak diujung Barat pulau sumatera sehingga NAD merupakan propinsi paling Barat Di Indonesia. Daerah yang berada pada posisi 2-60 Lintang Utara (LU) dan 95-98 Bujur Timur (BT) ini berbatasan dengan Laut Andaman di sebelah Utara Samudera Indonesia. Luas wilayah yang dilingkupi 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai ini adalah 57.365.57 km atau 2.89% dari luas Indonesia.
Secara histories, masyarakat Aceh terbagi ke dalam beberapa kerajaan kecil sebelum dikukuhkan menjadi kerajaan Aceh Darusalam. Kerajaan- kerajaan kecil ini, antara lain kerajaan Indrajaya, Indrapura, Indrapatra, Pasai, Benua, Daya, peureulak , Ide, Pidie, Meolaboh dan Linge. Masing-masing kerajaan memiliki adat istiadatnya sendiri-sendiri variasinya itu masih tampak sampai sekarang, disampai itu, dialek dan bahasa pun beragam, antara lain bahasa Aceh itu sendiri sebagai bahasa utama dengan berbagai macam dialek, bahasa Gayo, Alas, Aneuk Jamei (Minang), bahasa Melayu di Tamiang, dan bahasa Kluet.
Dilihat dari sisi agama, masyarakat Aceh (khususnya suku Aceh) semuanya menganut agama Islam, sementara agama lain seperti Kristen Protestan, katolik, Budha dan Hindu juga ditemukan di Nanggroe Aceh Darussalam, pemeluknya terdiri dari berbagai suku pendatang.
Keberagaman suku, budaya, bahasa, dan agama ini tentunya akan sangat potensial menimbulkan konflik sosial. Untuk itu masyarakat Aceh telah mengantisipasinya melalui penciptaan kondisi dan iklim pendidikan (learning society) yang diwujudkan dalam tradisi kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Aceh melalui aktivitas ‘ubudiyah mahdah. Karena semua masyarakat pribumi Aceh beragama Islam, maka pendidikan dalam keluarga Aceh inipun berlandaskan pada hukum-hukum Islam. Bahkan lima rukun yang menjadi pokok agama ini telah diintegrasikan ke dalam pola pendidikan keluarga mereka. Sungguh hal yang sangat luar biasa, di era sebelum abad 18 yang tentunya tidak akan bisa dibandingkan dengan kemajuan berpikir dan kecanggihan teknologi pada era globalisasi seperti sekarang ini, tetapi masyarakat Aceh telah begitu cerdas dalam memilih dan memilah pendidikan untuk keluarganya. Mereka telah mampu memberikan pilihan terbaik dalam mendidik dan mempersiapkan generasi masa depan, dengan menginternalisasi ajaran agama yang begitu tinggi dan mengaplikasikannya ke dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat melalui pendidikan yang berwawasan multikultural. Penerapan pendidikan dilakukan melalui transfer of knowledge, value dan action dalam tata ubungan atau relasi antara sesama anggota keluarga, tetangga, masyarakat Aceh maupun masyarakat luar Aceh.
Pendidikan berwawasan multikultural yang dimotori internalisasi dari nilai-nilai agama ini tercermin pada tata cara dan pola pembentukan sikap manusia dalam berbudaya, sehingga melahirkan generasi yang dapat menghargai nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kebangsaan.
Kekuatan dasyat pendidikan yang mengintegrasikan nilai agama Islam ini mampu menanamkan sikap komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai kebenaran, mempunyai sikap kedisiplinan, kepekaan dan empati terhadap sesama, kesabaran, dan kesederhanaan sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang luar biasa yang mampu bekerja sama dan hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat disekitarnya, tanpa harus membedakan dan merisaukan keraagaman kultur yang berbeda.
Sungguh sangat disayangkan sekali, karena pola pendidikan dan kehidupan yang demikian luhur dan kondisi damai di kalangan masyarakat Aceh telah di usik oleh penjajahan kolonialis Belanda. Masyarakat Aceh menyambut kehadiran Belanda dengan perang yang melelahkan selama 30 tahun (1873-1904). Akibat perang yang berkepanjangan itu, memang Aceh tidak dapat ditaklukan oleh Belanda, namun berdampak pada korban jiwa dan dana yang sangat besar, sehingga sikap patriotisme yang menyala dalam perang tadi begitu mendalam dan terus bersemi dalam kehidupan masyarakat Aceh sampai kapanpun.
Ekses dari sikap patriotisme yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh adalah muncul sikap chauvinisme, yaitu menganggap dirinya lebih kuat, lebih baik dan lebih terhormat dari suku bangsa atau etnis lain. Sehingga yang semula kultur masyarakat Aceh, sesuai dengan eksistensi masyarakat Aceh, memiliki pola hubungan yang multikultural dan inklusif, namun akibat perang yang berkepanjangan, sehingga akhirnya sebagian kecil masyarakat Aceh terjerat dengan kultur eksklusif.
Terlepas dari hal tersebut di atas, ada banyak pelajaran yang seharusnya dapat kita ambil dan kita jadikan wacana dalam menyikapi keterpurukan pola pendidikan yang ada di tanah air kita saat ini. Ketahanan suatu ide dan padangan atau paham di dalam diri seseorang atau kelompok sosial ditentukan oleh posisi seberapa ia berakar di dalam “dunia batin” atau “daya spiritual”nya. Wawasan multikultural yang hanya sebagai konsensus politik atau wacana pemikiran, mudah berubah bersama perubahan sosial budaya dan tidak memiliki akar di dalam kesadaran hidup. Sudah semestinya kita sebagai makhluk sosial yang beragama dan memiliki keimanan, memulai meningkatkan pemahaman nilai-nilai iman kita, menginternalisasi nilai iman melalui berbagai aktifitas kehidupan, senantiasa memantapkan iman dan nilai-nilainya untuk selanjutnya mengimplementasikan dalam pola pendidikan, bermasyarakat dan bernegara. Dengan begitu mudah-mudahan harapan tujuan pendidikan Nasional untuk mewujudkan masyarakat yang berpotensi yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara akan tercapai. Semoga......!!!
12 Juni 2008 pukul 16.30
TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH PENDEKATAN SISTEM
OLEH : YUSUF DARMAWAN
NPM: 0720005079
KELAS A
Review artikel : Mencari Model Pendidikan Di Papua
Sumber : http://tabloidjubi.wordpress.com/
Download : 29 Mei 2008/ jam 11.30. wib
Era globalisasi dapat dikatakan sebagai era kemajuan bangsa sedunia, hal itu terlihat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mencengangkan dalam berbagai bidang. Dan sudah pasti pembangunan pun menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri sebagai dampak dari globalisasi tersebut.
Dampak era globalisasi yang lain yaitu persaingan hidup yang semakin ketat. Semua orang berusaha untuk menjadi yang terdepan, mengikuti perubahan zaman dengan upaya menguasai teknologi dan informasi. Siapa yang menguasai teknologi, maka dengan mudah menjadi orang yang maju, mudah dapat kerja, dan dapat menikmati hasilnya.
Akan tetapi, kemajuan teknologi yang semesti bisa dirasakan oleh semua orang, baru dapat dinikmati oleh sebagian orang yang berkantong tebal. Sarana-sarana untuk mempelajari teknologi hanya dapat dipelajari oleh mereka yang mempunyai banyak duit, seperti halnya sekolah-sekolah unggulan, universitas unggulan, maupun tempat-tempat kursus. Untuk dapat belajar ditempat tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan sekedar untuk mengikuti ujian.
Bagi kaum proletar, jangan kan untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang tinggi atau sekedar mengikuti kursus, untuk makan sehari-hari pun susahnya bukan main. Pada akhirnya, mereka hanya dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang biasa dengan fasilitas seadanya dan dengan kualitas pengajar yang biasa. Maka secara otomatis kualitas yang dihasilkannya pun akan biasa-biasa saja.
Jika demikian, sudah jelas mereka tidak mempunyai cukup bekal untuk dapat mengikuti persaingan dunia global yang semakin ketat. Mereka akan kalah bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah unggulan, sehingga mereka hanya akan menjadi bagian dari kemajuan tersebut tanpa dapat menikmati hasilnya. Persaingan hidup hanya akan dimenangkan oleh orang yang berkantong tebal saja, maka pantas pepatah mengatakan: “Orang yang kaya akan semakin kaya, sedangkan orang yang miskin akan selamanya menjadi orang miskin”.
Padahal pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencerdaskan orang-orang yang berkantong tebal saja, tujuan pendidikan sebagaimana yang terangkum dalam Tri Dharma Pendidikan adalah bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memberantas kebodohan dan buta huruf. Untuk itu, perlu adanya pemerataan pendidikan untuk semua orang tanpa membedakan kaya dan miskin.
Artikel yang kami bahas disini menceritakan tentang model pendidikan di provinsi paling timur Indonesia yaitu Papua, seperti kita ketahui bersama kondisi geografis yang sulit ditembus dan penyebaran yang sangat luas menyulitkan proses kegiatan belajar pada sekolah di provinsi ini, untuk itu penulis memaparkan beberapa model pembelajaran yang dapat di terapkan dengan efektif.
Mencari Model Pendidikan Di Papua
Ditulis pada April 28, 2008 oleh Tabloid Jubi
JUBI - Kondisi isolasi geografis papua yang tidak semuanya mudah ditembus dan masyarakat yang penyebarannya terpencar-pencar serta terpencil, perlu diusahakan model pendidikan sekolah yang dapat mengadaptasi kondisi geografis, sosial budaya dan ekonomi.
Pendidikan yang tepat bagi suatu masyarakat dapat didekati dari berbagai cara pandang. Diantaranya pendidikan yang memberdayakan potensi anak didik agar mampu beradaptasi dengan lingkunganya. Di lain pihak menganggap pendidikan yang tepat adalah sebuah pendidikan yang relevan dengan pertumbuhan ekonomi dan pasar kerja.
Penataan sisten dan struktur kebijakan dan regulasi pendidikan yang memberi peluang terhadap penyelenggaraan pendidikan partisipatif melalui dekonsentrasi dana pendidikan yang saat disebut sebagai blok grant dan otonomi sekolah. Sedangkan dalam aspek mikro telah dikembangkan model MBS (manajemen berbasis sekolah) serta metode pembelajaran aktif kreatif dan menyenangkan (Pakem). Untuk merealisasikan semua ini diperlukan upaya bersama dalam memberdayakan setiap stakeholder untuk mencapai pembelajaran yang membangun kekuatan batin, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan peserta didik.
Pengembangan pendidikan terutama pendidikan dasar di papua diarahkan untuk menjangkau komunitas masyarakat terisolir dan terpencil serta perkampungan di papua berupa pendidikan SD kecil dan SD SMP satu atap, PKBM (pengembangan kegiatan belajar masyarakat) yang menyelenggarakan kelompok belajar paket A dan keaksaraan fungsional, kecakapan hidup yang terselenggara dengan baik ditunjang dengan penyediaan fasilitas belajar yang memadai dan lebih penting lagi dapat mencapai semua kampung-kampung yang ada.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, pendidikan merupakan kunci utama dalam pengembangan SDM dan mengentaskan kemiskinan. Maka kebijakan pendidikan yang strategis untuk dilaksanakan di Papua adalah: 1. perluasan akses pendidikan dasar yang baik dan gratis bagi masyarakat yang tinggal di kampung. 2, percepatan pengembangan anak-anak berbakat melalui sentra-sentra pendidikan unggulan guna mendapatkan calon anak papua menjadi tekhnokrat dan pemimpin masa depan setelah otsus berakhir. 3, pengembangan keahlian kejuruan melalui SMK dan pelatihan kejuruan sesuai potensi SDA dan pertumbuhan investasi di setiap wilayah. 4, pengangkatan serta penyebaran tenaga pendidik hingga tercukupi kebutuhan di setiap kampung-kampung. 5, yang terakhir peningkatan tata kelola pendidikan yang bermutu, transparan, akuntabel dan dapat dipercaya.
Untuk papua ada beberapa model pendidikan yang telah lama berjalan diantaranya pendidikan berpola asrama yang dirintis oleh para misionaris dan sending dan yang kini tengah diperkenalkan yakni pendidikan dengan pola semi asrama.
Pendidikan Pola Asrama
Penyelenggaraan pendidikan yang telah lama dikenal di Papua yakni sekolah dengan model asrama telah banyak menghasilkan pembangunan SDM yang saat ini telah tersebar di berbagai instansi, lembaga pemerintah maupun swasta bahkan tidak sedikit yang menelurkan para elit politik dan pejabat.
Pelaksanaan sekolah yang pertama dirintis oleh para sending dan misionaris tersebut memiliki struktur yaitu sekolah rakyat dengan sistem asrama.
Pendidikan dengan pola asrama ini memberikan manfaat sebagai bentuk proses inisiasi (akulturasi) yang sangat efektif. Pelajar yang berasal dari masyarakat tradisional dipisahkan dari sistem tradisionalnya dan diantarkan kedalam sistem nilai modern yang menghargai waktu, disiplin, tanggungjawab, rajin, kerja keras, hidup bersih, kerjasama, menghargai eksistensi setiap individu, solidaritas dan taat terhadap norma agama. Pendidikan berasrama ini memberikan hasil yang optimal karena dilaksanakan memenuhi kriteria komprehensif serta aspek-aspek kompetensi manusia modern yang kognitif, efektif dan juga psikomotorik.
Masa kini pembangunan pendidikan melalui jalur sekolah dilaksanakan dengan pendekatan penyediaan sekolah dan sarana belajarnya yang mendekati pusat pemukiman masyarakat. Konsep ini dilaksanakan secara merata hampir diseluruh wilayah di indonesia.
Namun, sayang pendekatan yang dianggap serba sama ini ternyata kurang menjawab persoalan keaneka-ragaman sosial ekonomi dan budaya masyarakat di Papua.
Kepala Dinas Pendidikan Dan Pengajaran Provinsi Papua, James Modouw, SE.MMT memberikan pemaparan sebagai pembanding dalam sebuah dialog publik yang bertajuk “Pendidikan yang memberdayakan dalam konteks otonomi khusus Papua suatu upaya mencari model pendidikan yang tepat.
Dalam pemaparannya dijelaskan kondisi isolasi geografis papua yang sangat sulit ditembus dan kondisi masyarakat yang penyebarannya sangat jarang terpencar-pencar serta terpencil. Sehingga perlu diusahakan model pendidikan sekolah yang dapat mengadaptasi kondisi geografis, sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat.
Pemerintah Provinsi Papua sejak tahun 1996 telah membangun 26 asrama yang berorientasi mutu disetiap kabupaten bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan swasta keagamaan. Setiap tahun kebutuhan asrama ini di subsidi oleh pemerintah melalui yayasan-yayasan atau badan pengelolaan pendidikan berpola asrama. Dari 26 asrama ini yang masih aktif dan berjalan normal hingga saat ini sebanyak 18 asrama, sedangkan 8 asrama sisanya masih dihuni namun tidak memiliki pengurus yang bertanggungjawab untuk mengelolanya.
Kondisi pendidikan di Papua saat ini terutama pendidikan dasar berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena setelah adanya desentralisasi pemerintahan, penanganan pendidikan dasar yang kewenangannya berada pada pemerintah kabupaten/kota menjadi tidak terurus sebagai mestinya. Fokus pembangunan lebih dititik-beratkan pada pembangunan fisik guna memenuhi kebutuhan dasar infrastsruktur pemerintahan yang belum memadai.
Akhirnya penyelenggaraan pendidikan terabaikan, guru tidak mendapat layanan kebutuhan dan akhirnya tidak sedikit yang meninggalkan tugasnya untuk kembali ke kota mengurus nasibnya. Padahal ini situasi seperti ini sangat berdampak pada siswa-siswi didik dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan secara asal-asalan. Sehingga banyak anak didik dinaikkan kelas dan diluluskan sekalipun kemampuannya tidak memenuhi syarat.
Masalah guru yang meninggalkan tugas dan memilih ke kota sebenarnya bukan hal baru. Namun seorang guru juga seharusnya dituntut mempunyai jiwa pengabdian. Jadi diperlukan perubahan sistem dalam perekrutan tenaga guru yang akan ditugaskan di daerah pedalaman.
Disisi lain selain masalah guru, masyarakat yang terpencil semakin jauh dari jangkauan layanan pemerintah akan pendidikan sebagai kebutuhan dasarnya. Akibat pertambahan penduduk kampung-kampung otomatis semakin bertambah sehingga diperlukan upaya sistematis dan strategis untuk mengembalikan kondisi pendidikan di papua sebagai mestinya.
Pendidikan Pola Semi Asrama
Sebuah model yang kini tengah diperkenalkan oleh Penasehat Gubernur Papua, Agus Sumule dalam sebuah kajian mencari bentuk model pendidikan yang memberdayakan dalam konteks otonomi khusus papua.
Menurutnya model pendidikan semi asrama adalah sebuah alternatif. Pendidikan berpola semi asrama (PPSA) dapat diartikan sebagai bentuk pendidikan yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang antara lain, disiplin tinggi, mutu akademik tinggi, gizi baik dan berkemampuan tinggi untuk kerjasama dengan orang lain yang berlatarbelakang berbeda. Namun dengan tidak mewajibkan peserta didik untuk hidup bersama secara terus menerus dalam batasan-batasan fisik bangunan yang dikenal selama ini dengan sebutan asrama.
Dalam model PPSA “Asrama” adalah sekolah itu sendiri. Hanya saja peserta didik lebih lama beraktifitas disekolah dibandingkan jam sekolah normal. Didalam model ini peserta didik datang lebih pagi kesekolah dan pulang ke rumah sore hari. Dengan penambahan jam seperti ini diharapkan berbagai fungsi asrama dapat diakomodir sehingga tujuan-tujuan asrama dapat dicapai.
Pola semi asrama ini para peserta didik mengusulkan jadwal harian yang antara lain memuat agenda aktivitas. Misalnya peserta didik datang lebih pagi jadi tidak perlu mandi dari rumah kemudian tiba disekolah baru mandi, mengenakan seragam serta menyiapkan buku-buku belajar. Setelah itu baru makan pagi bersama untuk selanjutnya belajar normal.
Peranan orang tua di dalam PPSA sangat besar. Pola ini tidak mengambil alih tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, bahkan sebaliknya melalui model seperti ini diharapkan orang tua dapat bekerjasama agar mutu pendidikan anak-anaknya meningkat secara signifikan. Dengan kata lain apabila orang tua tidak mau bekerjasama dengan memenuhi tanggung jawabnya maka pola semi asrama ini tidak mungkin berhasil sebagai salah satu alternatif peningkatan mutu pendidikan di daerah pedesaan. Secara umum ada dua macam tanggung jawab yang diharapkan dari para orang tua di dalam model ini. Yang pertama menyediakan sumberdaya lokal yang dibutuhkan peserta didik secara cuma-cuma. Sumber daya lokal yang dimaksud adalah: bahan makanan, ubi ,sagu, sayuran, buah-buahan, ikan, hasil buruan dan lainnya. Kemudian bahan bangunan untuk pembangunan fasilitas penunjang seperti kayu dan pasir.
Semua kebutuhan PPSA yang dapat disediakan secara lokal harus disumbangkan oleh masyarakat setempat secara cuma-cuma. Hal ini didasarkan atas asumsi dasar yang telah dikemukakan bahwa pola asrama tidak mengambil alih tugas dan kewajiban masyarakat di dalam pendidikan anak-anaknya.
Dengan demikian peranan sumber daya yang berasal dari pihak luar terbatas pada hal-hal yang tidak bisa dihasilkan sendiri oleh masyarakat setempat. Pihak luar yang dimaksud adalah pemerintah, institusi atau kelompok yang peduli dengan peningkatan SDM papua. (Anang Budiono)