Mimpi Ke Dua

07.49 Diposting oleh College student

MIMPI (02)

Keajaiban Mimpi Kecil Itu Terus Berlanjut Kadang saya tercenung dan nyaris tak percaya melihat adik-adik saya sekarang berkembang begitu pesat. Adik terkecil,
kini sudah menjadi copywriter iklan yang diakui di Jakarta. Ia pernah menjadi copywriter termuda di Jakarta. Hasil karyanya pernah menyabet penghargaan Citra Adipariwara. Kini ia mondar-mandir Jakarta, Singapura, Malaysia. Bahasa Inggrisnya cas cis cus. Dua bulan lalu ia bulan madu ke Bangkok dan jalan-jalan ke negara Asia lain. Pendidikannya? Hanya lulusan SMA!

Kakaknya bisa lulus Teknik Industri ITB dan langsung jadi wiraswasta. Adik saya yang lain jadi Account Manager sebuah PMA dari Singapura. Beberapa yang lain masih berusaha agar jadi orang yang mapan.

Itukah keajaiban mimpi kecil "Survive di Jakarta dan menyekolahkan adik2 dan membantu ekonomi orang tua" 14 tahun lalu? Saya tidak sangsi lagi. Indah? Jelas. Namun untuk menggapai keajaiban itu banyak jalan yang harus ditempuh.
Kalau pakai satu jalan saja, pasti saya sudah tewas kleleran dan keajaiban itu tak terwujud.

Soal keuangan misalnya. Ketika belum mampu mengelola uang, saya tidak mampu menabung sepeserpun. Setiap terima gaji, habis buat bayar SPP adik, buat keperluan sekolah, dan lain-lain. Oleh karena itu, saya bekerja sehebat mungkin agar dapat gaji di atas rata-rata. Hanya tiga bulan kerja di harian bisnis, saya pindah ke media bisnis mingguan dengan gaji naik 30%. Di media baru itu pun saya bekerja tak kalah keras sehingga mampu menembus batas-batas konvensional. Seorang reporter muda misalnya baru boleh menulis setelah 2 tahun. Tapi enam bulan jadi reporter saya sudah diangkat menjadi penulis. Begitu seterusnya. Otomatis gaji saya paling tinggi diantara reporter seangkatan.

Meski begitu, uang itu tidak cukup untuk mewujudkan cita-cita tadi. Saya beranikan diri membuka perusahaan komputer dan Teknologi Informasi (IT) di Bekasi bersama teman-teman. Tidak ada setahun, bisnisnya berantakan. Rugi. Apes. Tapi saya mendapat pengalaman luar biasa dari kegagalan ini. Untung, karena dorongan mimpi kecil itu saya ubet nyari uang lain. Karena pandainya "cuma" menulis saya mendalami hal-hal khusus yang penulis lain enggan, nulis tentang IT. Dari pemahaman terhadap dunia IT inilah saya laku sebagai penulis advertorial yang sering dikontrak oleh agensi iklan.
Ini tulisan komersial. Saking langkanya penulis advertorial IT, saya ketiban banyak rezeki. Bahkan kadang-kadang untuk urusan sepele - seperti menterjemahkan siaran pers perusahaan IT multinasional ke dalam bahasa Indonesia. Pendapatan saya dari sini tak jarang melebihi gaji bulanan.

Mimpi kecil, ternyata bukan hanya membuat saya "Mampu beringas dan kejam pada diri sendiri" dan "Memompa semangat untuk bekerja di atas rata-rata" seperti saya sampaikan di tulisan sebelumnya. Lebih dari itu, mimpi kecil mampu membuat saya jadi semakin KREATIF mencari sumber pendapatan baru.

Meski demikian, prestasi itu tergolong kecil dibanding langkah yang lain: menebar mimpi ke adik2. Ketika satu persatu adik saya ajak ke Jakarta, mereka dengan cepat membangun mimpi yang sama. Di Jakarta mereka saya beri pilihan, mau kerja atau sekolah. Apapun pilihannya saya dukung. Hal yang kelihatannya sepele ini ternyata juga penuh liku. Syukurlah adik2 memiliki mimpi yang sama sehingga mendapat keajaiban yang mungkin tak kalah dari saya.

Mereka makan seadanya di rumah kontrakan amat sederhana di Cililitan. Mereka mau memasak di rumah. Tak pernah minta uang kakaknya meski kantong kosong. Mereka ubet ke sana ke mari. Terkadang saya "menangis tanpa keluar air mata" melihat adik yang dengan badan berbasah peluh kelelahan pulang mencari kerja dan makan indomie rebusan
sendiri di ujung pintu rumah. Kadang saya terpikir betapa kejamnya saya membiarkan mereka pontang panting cari kerja padahal dengan jaringan bisnis saya waktu itu dapat saja menitipkan mereka ke perusahaan yang layak. Saya biarkan mereka mencari jalannya sendiri.

Dan inilah keajaiban menebarkan mimpi ke mereka: adik pertama dapat kerja, membawa adik kedua ke jakarta. Adik kedua membawa adik ketiga. Dan seterusnya. Praktis tujuh adik saya permah ke Jakarta semua. Itulah langkah subsidi silang ala orang ndeso yang ternyata berhasil. Jika ada yang mengira saya mengentaskan adik-adik, itu pendapat yang salah. Mereka mengentaskan diri sendiri. Peran saya hanya sebatas menyediakan rumah untuk berlabuh, makan secukupnya, uang ala kadarnya, serta contoh semangat tarung yang tinggi melawan nasib di Jakarta.

Mimpi kecil, ternyata sanggup membuka simpul-simpul keterbatasan kita. Kreativitas kita yang biasanya terbelenggu karena kurang ditantang oleh keadaan, bisa jebol karena mimpi-mimpi kecil seperti ini. Betapa hebatnya jika mimpi yang mampu melahirkan kreativitas ini diterapkan dalam karir dan bisnis.

Kekuatan Mimpi

07.28 Diposting oleh College student

SAATNYA AKU BANGKIT DAN MERAIHNYA

Sebuah Petuah penyemangat yg akan slalu kuingat dimana awal mula mimpi,
sebuah kata yang sangat sepele dan tak nyata menjadi sebuah cita-cita.

The Dream

(Senin, 23 Agustus 2004) - Written by Nukman Luthfie - Last Updated (Selasa, 07 September 2004)

MiMPI (01)

Banyak orang sukses karena mereka berani bermimpi namun tekun dan cendekia mengejar mimpinya.Biasanya mereka yang sukses melakukan tahapan seperti ini : Gantung mimpi tentang sukses setinggi langit.Uraikan mimpi menjadi sasaran-sasaran. Wujudkan sasaran-sasaran menjadi tugas-tugas. Jadikan tugas-tugas dalamlangkah-langkah. Lakukan langkah pertama dan ikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Teruslah melangkah dengan tegar dan cerdik meski batu menghalang di depan. Mimpi, seperti ditulis pakde Broto, jika didayagunakan akan membawa berkah dan pemacu intuisi. Masfuk, orang Jawa miskin yang berhasil menjadi orang kaya, dalam bukunya
"Orang Jawa Miskin Orang Jawa Kaya" menuturkan bahwa mimpi adalah langkah pertama yang mesti diambil untuk menuju sukses.

Tanpa mimpi, banyak orang tidak maju, karirnya jalan di tempat, dan ia menjalani rutinitas yang membosankan. Saya ingat betul dengan seorang penjual gethuk cantik di pasar dekat rumah, ketika saya masih SMP, yang suka manggil saya untuk beli dagangannya. "Cah bagus, arep tuku opo: gethuk, tiwul opo cethot?" Waktu SMP, karena masuk siang, saya memang dapat jatah pekerjaan rumah untuk belanja harian ke pasar meski saya anak laki-laki.

Sembilan tahun kemudian, tatkala saya hampir lulus kuliah, ia masih duduk di tempat yang sama, dengan gendhongan yang sama, cara memotong gethuk yang sama. Tak ada yang berubah. Perubahan yang kelihatan jelas adalah bertambah kerut wajahnya dan rambutnya yang kian memutih. Perubahan lain, ia lupa saya. Tak pernahkah ia bermimpi
untuk menjadi juragan gethuk? Tak sempatkah ia membangun mimpi memiliki "pabrik rumahan" gethuk, tiwul dan cethot yang melayani para penjual gethuk gendongan? Sayang, saya waktu itu tak punya ilmu mimpi. Jadi kalaupun saya tanya waktu itu, jawabannya kira-kira seperti ini: "Oalah cah bagus, ngene wae wis cukup kok." Begini saja sudah cukup, kenapa harus repot-repot?
Dalam perjalanan karir, banyak orang yang bersikap seperti mbakyu Gethuk tadi, meski tidak seekstrim itu. Mereka biasanya memiliki ciri-ciri yang sangat mudah dilihat : mengerjakan hal itu-itu saja selama bertahun-tahun tanpa ada tambahan "value" yang berarti. Value ini bentuknya beraneka ragam, tapi yang paling umum dipakai sebagai ukuran adalah uang atau imbalan berharga lainnya seperti stock option. Ciri lain : bekerja bertahun-tahun di tempat yang sama sambil menggerutu merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh manajemen, gajinya tidak dinaikkan, tidak diberi
tantangan baru, dan segudang keluhan lain. Namun lucunya, ia tidak mau pindah karena banyak alasan.

Mimpi, kadang merupakan barang mewah. Padahal mimpi itu mudah dan murah. Tidak usah repot-repot menulis mimpi. Bulatkan saja mimpi itu dalam tekad. Ketika lulus kuliah, misalnya, mimpi saya sangat sederhana. Sebagai anak lelaki pertama, saya ingin segera berhasil sehingga mampu membiayai kuliah tujuh adik dan membantu perekonomian
keluarga. Sederhana bukan? Tetapi mimpi yang ala kadarnya itu memberi energi yang luar biasa. Ini contoh "kecil"nya. Sadar bahwa merokok adalah biaya (minimal beli rokok), begitu menginjak Jakarta saya bunuh kebiasaan merokok ini.Ketika orang lain kesulitan menghentikan kebiasaan merokok, saya hanya cukup untuk memejamkan mata sejenak, maka berhentilah saya merokok sejak Februari 1990 hingga sekarang. Apa pendorongnya? ya hanya mimpi tadi. Bayangkan betapa berharganya uang Rp 500 per hari jika orang miskin seperti saya ke Jakarta . Dari pada buat beli rokok mending buat beli kertas folio dan perangko untuk buat surat lamaran kerja atau keliling ke seluruh penjuru Jakarta naik bis kota.

Mimpi itu pula yang membantu saya melepas predikat sarjana teknik. Peduli amat dengan gelar sarjana, sebelum ada kerjaan pasti saya memberikan les privat matematika dan fisika ke anak-anak SMA dan SMP. Ada yang rumahnya sederhana di Sunter. Ada yang magrong-magrong di Senopati. Cuek saja ke sana kemari naik bis dan keringatan. Yang penting ada nafkah dan modal untuk survive di Jakarta. Gara-gara nggak punya udel dalam mencari nafkah itu, keberuntungan mampir ke saya. Saya sempat ngelesi cucu Wakil Presiden Sudarmono di Senopati serta anak Direktur Bank Exim waktu itu yang kebetulan lulusan UGM. Mereka membayarnya sesuka-suka. Ketika di Sunter sekali datang saya dibayar Rp 10.000,-, saya dibayar Rp 75.000 hanya dua kali datang ke cucu Sudarmono. Uang segitu mewah untuk tahun 1990. Apalagi untuk cah ndeso yang baru di Jakarta dua bulan.

Mimpi, pada tahapan ini, minimal mampu membuat kita -- paling tidak, saya -- beringas dan kejam terhadap diri sendiri untuk mengejar sukses. Mampu membuat kita tegar menghadapi situasi seburuk apapun. Pada tulisan selanjutnya akan
saya umukkan bagaimana mimpi bisa mendorong kita menemukan "keberuntungan-keberuntungan".