:: Yuk Nongkrong di Darmajaya Society Centre..!!!

07.41 Diposting oleh College student

Kalo mau asyik, nongkrong aja di belakang Gedung G Darmajaya. Lhooo??? Jangan heran, disana khan bakal ada yang namanya Darmajaya Society Centre (DSC), pusat nongkrong mahasiswa Darmajaya. Dijamin enjoy dan puas dech. Selain bisa nongkrong, mahasiswa Darmajaya yang tergabung dalam Dj’s Community yang super cool ini, bakal bisa unjuk gigi di situ. Soalnya ada panggung segala lho!! So, buat kamu yang doyan ngeband, teater, musikalisasi puisi, ato cuma mau sekedar narsis alias unjuk gigi, bisa manteng di panggungnya DSC.

By the way, any way, bus way memangnya kenapa sich, Darmajaya repot-repot bikin gedung yang heboh itu untuk mahasiswa Darmajaya? Apa segitu cintanya Darmajaya dengan mahasiswanya yang super duper funky itu? (eehhmm). Nach untuk alasan ini, menurut Ketua Perguruan Tinggi Darmajaya, Bapak Andi Desfiandi, SE, MA, Darmajaya tuch emang cinta mati ama mahasiswanya. Selain mau dibikin pinter secara akademis, secara sosial budaya mahasiswa harus dibikin cerdas. Caranya ya itu tadi, memberikan ruang gerak yang leluasa untuk tumbuh kembangnya kepribadian dinamis dan percaya diri dari mahasiswanya (ceiiileee…). Pinter kalo kuper khan gak oke, coy.. iya enggak?

“Darmajaya Society Centre merupakan gedung yang khusus diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa Darmajaya sebagai ajang bersosialisasi dan berkreativitas. Jika gedung kuliah kita rancang sebagai tempat yang sangat serius untuk menimba ilmu. Maka DSC merupakan gedung yang penuh dengan kreatifitas mahasiswa. Disini mahasiswa bebas berkreasi seni, budaya, dan kegiatan lainnya,” ujar Pak Andi serius disela-sela acara makan siang kemarin.

Sambil nongkrong di kafe food court yang nyaman dan bersih, mahasiswa bisa lihat temannya yang lagi maen futsal atau yang lagi serius unjuk kebolehan di panggung terbuka yang berada di auditorium. Auditorium yang ada di lantai 1 ini selain dipergunakan oleh mahasiswa Darmajaya juga dapat dipergunakan oleh pihak luar yang ingin bekerja sama dengan Darmajaya.

“Enggak itu aja, di lantai 2 juga akan dibangun kafe, book store, dan internet kafe. So, kita bisa kongkow-kongkow disana. Terus di balkon yang ada di lantai paling atas bisa sambil membaca buku sembari bersantai atau boleh juga kalo mau tebar-tebar pesona. Secara dihalaman depan akan ada taman yang asri dilengkapi dengan gazebo-gazebo, yang pastinya penuh dengan mahasiswa yang oke-oke tampangnya. Pokoknya dijamin dech, DSC ini bakal menjadi satu-satunya gedung yang khusus dibuat untuk mahasiswa mengaktualisasi diri sebagai mahasiswa sejati. Coba dech ke PTS lain, mana ada yang kaya gini. Nach buat temen-temen mahasiswa yang mau ngajak temannya dari kampus lain main ke Darmajaya, enggak malu-maluin dech..yang ada mereka semua pasti pada iri. DSC, tuch DJ banget gitu loch..!” kata Pak Andi ikut-ikutan gak serius.

Oke dech, Pak.. kita jadinya enggak sabar mau liat gimana okenya DSC itu? So, kapan nich jadinya? Nach, ini kabar baik yang emang udah lama kita tunggu-tunggu. Secara, sudah ada peletakan batu pertama yang dulu dilaksanakan oleh Sri Sultan didampingi oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas dari Jogjakarta, pasti ada peletakan batu terakhir alias peresmian dunk..!!

“Insya Allah, DSC akan diresmikan oleh Bapak Aburizal Bakrie selaku Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat) pada tanggal 22 Mei 2008 mendatang. Semoga, dengan hadirnya beliau akan menjadi spirit tersendiri bagi mahasiswa Darmajaya yang ingin meniru jejak langkah beliau sebagai putera asli daerah Lampung yang berhasil menjadi tokoh nasional yang disegani di Indonesia,” tutup Pak Andi mengakhiri pembicaraan.(humasdj)

:: ANALISIS ARTIKEL PENDIDIKAN MASYARAKAT BETAWI

07.38 Diposting oleh College student

ANALISIS ARTIKEL PENDIDIKAN MASYARAKAT BETAWI

PENDIDIKAN UBAH CITRA ORANG BETAWI
http://elokdyah.multiply.com/journal/item/66

(Tugas Mata Kuliah Pendekatan Sistem dalam Pendidikan)



Oleh
Ida Nurlaila
0720005022




PASCA SARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2008


Analisis Artikel Pendidikan Ubah Citra Orang Betawi

Ikhtisar artikel

Di dalam artikel yang ditulis oleh Elok Dyah Messwati dengan judul Pendidikan Ubah Citra Orang Betawi menyiratkan bahwa pendidikan yang mampu mengubah suatu budaya yang begitu terpaku pada keterbatasan untuk berkembang menjadi mampu keluar dari kungkungan budaya yang membatasinya.

Elok Dyah Messwati ingin menunjukkan bahwa orang Betawi saat ini sudah memiliki tokoh-tokoh yang memanfaatkan pendidikan formal demi perubahan kehidupannya. Tidak hanya laki-laki yang mendominasi pendidikan orang betawi juga tidak mendiskriminasi pendidikan untuk kaum perempuan. Contoh tokoh yang di contohkan oleh Dyah seperti Alya Rohali dan Ridwan Saidi, menyatakan kepada kita bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama dalam bidang pendidikan. Hal ini sejalan dengan pemikiran islam yang tidak membedakan laki-laki maupun perempuan dalam segala bidang kehidupan tidak terkecuali itu pendidikan.

Orang Betawi yang notabanenya bertempat tinggal di Ibu Kota kita DKI Jakarta merupakan suku yang sangat unik. Bagi sebagian orang Jakarta identik dengan Betawi, namun dengan perubahan jaman terdapat jarak antara suku Betawi dengan Jakarta itu sendiri.

Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.

Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari penilaian Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara pendidikan, karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca mata orang yang dididik dan dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang) menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah dibangun untuk menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia), pendidikan ala barat merupakan patokan kecerdasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik ijazah sekolah barat yang sekuler. Lain ladang lain belalang bagi orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan pendidikan agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini, berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala banyak-banyak sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap menimbulkan salah paham bahwa orang-orang betawi sangat tidak menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur `Pagi belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah'. Pandangan mereka pendidikan haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak seimbangnya nalar dan hati.

Kemajuan pemikiran orang Betawi terhadap pentingnya keseimbangan pendidikan dunia dan akhirat bukanlah hal baru, kurikulum pendidikan saat ini juga mendidik anak dari tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Orang betawi sudah mampu untuk melakukan terobosan dengan tidak hanya menambah ilmu pengetahuan dari segi kognitif saja, tapi juga afektifnya harus terpenuhi. Pendidikan agama yang didapat orang betawi dari pendidikan pola pesantren merupakan salah satu pembelajaran akhlak mulia, membentuk anak dari awal untuk menjadi beradab.

Masyarakat Betawi dapat dibedakan menjadi atas macam-macam kelompok. Mereka cukup berbeda dalam arti latar belakang sosial-ekonomi serta lokasi distribusi sebagai akibat perjalanan sejarah yang berbeda. Untuk istilah yang sering dikenakan pada kelompok ini yaitu Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik.

Yang sering diangkat kepermukaan adalah betawi udik, mereka umumnya berasal dari kelas ekonomi bawah yang pada umumnya lebih bertumpu pada bidang pertanian. Taraf pendidikan mereka sangatlah rendah bila dibandingkan dengan tahap pendidikan yang dicapai oleh orang Betawi Tengah dan Betawi Pinggir.

Peran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari orang Betawi Udik berbeda dengan peran agama Islam di antara orang Betawi Tengah dan Betawi Pinggir di mana pada kedua kelompok Betawi terakhir tersebut agama Islam memegang peran yang amat sangat penting dan menentukan dalam tingkah laku pola kehidupan mereka sehari-hari.

Dengan pola tingkah laku mereka yang sangat kental dengan nuansa islam bukan berarti mereka tertinggal dalam bidang pendidikan, mereka sangat percaya akan pendidikan karena Islam juga menyuruh untuk mencari ilmu.

Dengan demikian pandangan orang bahwa orang betawi ketinggalan dalam bidang pendidikan adalah tidak benar, justru mereka mendidik anak-anak mereka untuk menyeimbangkan antara pendidikan formal dan agama. Keseimbangan pendidikan yang seperti inilah yang sudah jarang kita temui saat ini. Dengan keseimbangan pendidikan yang seperti ini sudah banyak generasi Betawi yang mampu menerobos hingga poros terdepan dalam berbagai bidang kehidupan.

Sumber:

Adimarhaen, Betawi dan Sejarah Jakarta. http://adimarhaen.multiply.com/
journal/item/62/

Suradi, Anak Betawi yang Jadi Pejabat Tinggi. http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0708/09/hib07.html

:: ARTIKEL PROFESIONALISME GURU

07.33 Diposting oleh College student

ARTIKEL
PROFESIONALISME GURU DALAM MENGHADAPI GOLBALISASI
(Tugas Mata Kuliah Pendekatan Sistem Dalam Pendidikan)


Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Sujarwo, M.S
2. Dr. Basrowi, M.Pd



Kelas A

1. Ernila Isneni (0720005014)
2. Vetri Yanti (0720005015)
3. Ida Nurlaila (0720005022)
4. Yufrariana (0720005107)



PROGRAM MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2008



ARTIKEL
PROFESIONALISME GURU DALAM MENGHADAPI GOLBALISASI

Pendidikan nasional dewasa ini dihadapkan pada empat krisis pokok, yakni kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebih rinci Tilaar menyatakan bahwa ada tujuh masalah pokok dalam sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik; (2) pemerataan kesempatan belajar; (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan; (4) status kelembagaan; (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional; (6) sumber daya manusia yang belum profesional.
Beberapa permasalahan yang dari dulu sampai saat ini dihadapi sektor pendidikan, antara lain: pertama, pemerataan dan perluasan pendidikan dasar dan menengah; kedua, rendahnya mutu pendidikan; ketiga, relevansi pendidikan yang belum maksimal; keempat, manajemen pendidikan yang masih rendah; dan kelima, pembiayaan pendidikan yang belum memadai.

Pendidikan nasional juga dihadapkan pada beberapa masalah: (1) pendidikan belum secara terencana dan sistematik diberdayakan untuk berfungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal; (2) pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional, dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh iptek dan persaingan global, belum sepenuhnya terlaksana; (3) pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditas yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan sistem perdagangan; (4) pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria, dan patriotik.

Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa problematika pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Dalam rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
2. Paradigma pendidikan baru dapat dikatakan berhasil jika dapat memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetitif.
3. Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai perintis masa depan yang mengacu pada prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka.
4. Anggaran pendidikan khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersumber dari APBD kabupaten/kota dan provinsi maupun yang bersumber dari APBN relatif masih kecil, meskipun dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan anggaran pendidikan minimal 20% dari keseluruhan APBN.
5. Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan (need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan kemauan birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
6. Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah Menengah dan Kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah.

Terlepas dari semua permasalahan pendidikan nasional tersebut tentunya kita sama-sama setuju bahwa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen
pendidikan oleh pendidik (guru) terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :
1) Subjek yang dibimbing (peserta didik).
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung
menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek
atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang
memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri)
secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai
sepanjang hidupnya.
2) Orang yang membimbing (pendidik).
Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya
dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan
yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan
masyarakat/organisasi.
3) Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar
peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian
tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif
dengan memanipulasikan isi, metod, serta alat-alat pendidikan.
4) Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya
abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas
sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus
berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu,
tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.
5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam
kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini
meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang
mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal
misinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi
lingkungan.
6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat
melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektivitasnya. Alat dan
metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan
sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.
7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
Lingkungan pendidikan biasa disebut tri-pusat pendidikan yaitu keluarga,
sekolah, dan masyarakat. (Makagiansar, 1992 )
Profesionalisme guru, tentu harus terkait dan dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru, dengan demikian guru dapat menghadapi globalisasi. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat. Penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks, menyangkut kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru. Penilaian harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi pada bidang kependidikan. Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru.
Dalam era Globalisasi, profesionalisme guru dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gagne dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk dapat bersaing dalam era reformasi sehingga pendidikan di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran antara lain adalah mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas, dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan”. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” [Naniek Setijadi, From: http://tpj. bpk penabur. or.id/..., , akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15].
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4. Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan
5. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Rendahnya kualitas tenaga kependidikan, khususnya guru pada era globalisasi saat ini merupakan masalaah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Katakan saja sebagai contoh, motivasi menjadi tenaga pendidik [guru] di kebanyakan sekolah-sekolah selama ini dikarenakan dan hanya dilandasi oleh faktor pengabdian dan keikhlasan, sedangkan dari sisi kemampuan, kecakapan dan disiplin ilmu dikatakan masih rendah [baca, Hujair, 2003: 226]. Hal ini, menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan tentu mengalami kesulitan untuk memiliki keunggulan kompetitif. Maka, masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia pada dasarnya adalah masalah yang terkait dengan faktor kualitas tenaga guru [Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, 25 Juli 2001]. Fazlur Rahman, menyatakan Indonesia, seperti halnya negera-negara berkembang lainnya, juga menghadapi masalah pokok dalam menghadapai globalisasi saat ini : yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset. Lanjut Fazlur Rahman, bagaimana memproduksi tenaga seperti itu [Fazlur Rahman,1985:151]. Pandangan ini, menjadi tantang dan persolan bagi pendidikan di Indonesia untuk berusaha membangun kualitas sumber dayanya.

Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era global, informasi dan reformasi pendidikan. Indikator perubahan sekarang yang dapat diamati adalah sebagian guru mulai melanjutkan pendidikannya kejenjang S-2, sekolah-sekolah mulai menerapkan KTSP dan sudah berbenah menuju ”manajemen berbasis sekolah” [MBS] yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah. Dengan demikian, ”sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat” [E. Mulyasa, 2002:24]. Maka, dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, menuntut sumber daya [pimpinan, guru, dan tenaga administrasi] yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Pelaksanaan program-program pendidikan didukung dengan kepemimpinan yang demokratis dan profesional, guru-guru yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, serta tenaga administrasi profesional dalam pengelolaan administrasi pendidikan [Hujair, 2003: 226]. Laporan Bank Dunia [1999], bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan [persekolahan] di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan [dalam Hujair, 2003:226].

Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar terus menurut untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik [guru] merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu diperhatikan. Dengan kata lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi para guru jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan, karena apabila gagal dalam investasi guru akan berakibat patal [Hujair, 2003: 227] dalam persaingan
merebut animo pengguna pendidikan sebagai pengakuan terhadap kualitas lembaga pendidikan tersebut. Sebagai contoh, indikator pengakuan terhadap kualitas dan kemampuan guru, bukan hanya datang dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga dari jenjang karir fungsional seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar yang rigid, tetapi reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan dan penghargaan yang diberikan langsung oleh masyarakat, karena kemampuan akademik dan profesionalisme guru [Onno W. Purbo,16 Mei 2002] itu sendiri. Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat profesional yang memiliki kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetensi guru. Jika dilihat dari segi psikologis guru yang merasa dirinya mempunyai kompetensi yang tinggi akan merasa percaya diri menghadapi masyarakat.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2. Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan untuk membuat suatu hal yang baik; dan
5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Dalam era global saat ini, jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk, sehingga dia tidak mampu bersaing secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung, sehingga diharapkan guru akan berperan lebih profesional sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang dalam menghadapi globalisasi saat ini.

:: Resensi Artikel Gadis Batak

07.40 Diposting oleh College student

Resensi Artikel

Gadis Batak : Dari Sekolah Sampai Mediator Marga

Ermina Deasya Zwesty (0720005013 Kelas A)


Sumber : http://psi.ut.ac.id/

Gadis Batak pada kurun tahun 1920-1942 mendapatkan pendidikan Kolonial Belanda di Hindia belanda . Gadis intelektual Batak menjadi penghubung antara dua kelompok marga eksogamus yang patrilineal sifatnya. Menurut van Volenhoven pada tahun 1933, kebudayaan Batak terletak dalam wilayah hukum adat yang disebut difusi Alas-Gayo dan Batak (Koentjaraningrat, 1975: 90-91) karena dalam kekerabatan cenderung mempertahankan sistem yang sudah lama berlaku ketimbang pemikiran rasionalis yang baru masuk.

Menurut antropologi sejarah Sita van Bemelen yang bertajuk "Educated Toba Batak daughters as mediators in the process of elite formation (1920-1942)" (Sita van Bemelen, 1992: 135-166) melihat perkembangan gadis batak dalam dinamika perkembangan kebudayaannya pada dasawarsa kedua abad ke-20. Menurut gender, perempuan masih relatif kurang dibandingkan dengan peran laki-laki dalam perkembangan sejarah Indonesia yang sudah dilansir dalam tulisan Olwen Hufton, Natalie Zemon Davis, Sally Humphreys, Angela V. John, dan Linda Gordon (Juliet gardiner (ed.), 1988: 82-94). Masing-masing penulis itu menyoroti wanita sebagai suatu dinamika kehidupan yang bukan sekedar obyek tetapi pada sisi-sisi tertentu mereka sebagai subyek penggerak jaman.
Peranan gadis intelektual Batak sebagai mediator atas dua klan yang disatukan dalam keluarganya. Klan di Batak sekarang ini sudah mengalami evolusi yang begitu banyak, salah satu desa Kutagamber Batak Karo memiliki 16 Klan dengan 88 sub Klan (Masri Singarimbun, 1967/1974: 124).

Pada awal abad ke-20 pendidikan di batak merupakan suatu unsur penting sebagai penyebab terjadinya perubahan-perubahan mendasar kehidupan individu maupun kehidupan sosial masyarakat Nusantara. Hal ini merupakan suatu konsekuensi yang dimunculkan oleh politik Etis Hindia Belanda yang diterapkan untuk kaum pribumi. Dampak politik etis yaitu: adanya lapisan pekerja masyarakat di perkebunan, pelabuhan dan lainnya yang disebut kuli; pekerja kantor pemerintah atau perusahaan yang disebut kerani, dipandang sebagai orang terkemuka; munculnya masyarakat petani maju di daerah pedesaan. Akibat dari pola pemikiran pendidikan kolonial Barat adalah berkembangnya pendidikan di Batak, khususnya menyangkut kaum wanita, memberi pengaruh yang sangat berarti pada relasi gender, seperti menolak kawin paksa, poligami, dan menolak pewarisan hak berdasarkan garis patrilineal.

Pada tahun 1914 HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah dasar Belanda didirikan pertama kali di Tarutung, kemudian menyusul HIS dua tahun 1920 di Narumonda dan Dolok Sanggul. Pada tahun 1927 muncul sekolah pada pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah lanjutan pertama.
Pada tahun 1930 sekolah swasta mulai didirikan oleh orang Batak sendiri untuk mengisi kesenjangan yang terjadi, Di Batak sekolah bukan masalah pribadi semata, melainkan juga masalah marga. Inilah yang mendorong setiap klan memasukkan anak lelaki terbaik mereka dalam pendidikan. Menurut Sita dengan adanya relasi gender laki-laki intelektual membutuhkan istri yang intelektual pula. Kenyataan itu yang mendorong anak perempuan memilih sekolah dari pada hanya sekedar mengantar pupuk kandang ke ladang. Para lelaki intelek inilah yang menjadi juru bicara di dalam keluarga untuk menyekolahkan para anak gadisnya. Suku di Batak menginginkan kehadiran pemuda atau gadis yang berpendidikan untuk kebanggaan sekaligus dapat menyambungkan kedua suku. Menurut Sita van bemelen, Ibid.: 151 kenyataan gender bahwa wanita tetap belum sejajar dalam arti kuantitatif di Batak sampai tahun 1930-an. Menurut Sartono Kartodirdjo, gadis intelektual batak dapat direalisasikan melalui mengidentifikasi situasi serta permasalahannya, menghadapi berbagai gejala dan permasalahannya secara kritis, menginterpretasikan gejala sosio-kultural untuk memberikan maknanya dan mentransendensi realitas kekinian dan membuat proyeksi ke masa depan. Dengan menyekolahkan anak gadis menambah kesempatan untuk melakukan ikatan keluarga dengan klan yang status sosialnya sejajar untuk mempertahankan lestarinya status marga.
Asumsi dari Sita van Bemmelen terbukti bahwa ada tiga hal yang menarik dalam perkembangan pendidikan di Batak. Keluarga elit Batak memiliki peluang untuk tetap memperbaiki posisi status keluarganya dengan memberikan pendidikan pada puteri-puterinya; kedua, memberikan pendidikan pada gadis-gadis Batak bukankah merupakan suatu strategi baik jika keluarga mengharapkan ikatan pernikahan dengan keluarga yang status keluarganya tinggi; ketiga, para anak gadis dengan pendidikan mereka dapat meningkatkan dirinya, karena memperkuat posisi tawar yang lebih baik dalam keputusan memilih calon suami (Sita van Bemelen, 1992).

Dengan pendidikan, gadis Batak menjadi mediator antara dua klan di dalam ikatan keluarga . Setelah menjadi ibu atas prinsip yang diperoleh dari proses pendidikan, mereka menjadi mediator atau penengah antara dua kelompok marga. Relasi gender di Batak ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh oleh kedua belah pihak.

:: Tugas Kelompok Artikel Fenomenologi

07.41 Diposting oleh College student

Tugas Kelompok Artikel Fenomenologi

FENOMENA JILBAB DARI MASA KE MASA

(disunting dari artikel :”FENOMENOLOGI JILBAB”; oleh Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Jakarta, dimuat di KOMPAS Senin, 25 November 2002 )

oleh:
1). Firman Mendrofa NPM. 0720005017
2). Ermina Deasya zwesty NPM. 0720005013
3). Winda Darmayanti NPM. 0720005074


Pendahuluan.

Jilbab; pakaian penutup kepala perempuan jenis ini di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi pada permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki pe-rempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.
Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat ditelusuri di dalam syair-syair Jahiliyah, antara lain burqu', kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata; niqab, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna'ah, kerudung mini yang menutupi kepala; qina', kerudung lebih lebar; litsam atau nishaf, kerudung lebih panjang atau selendang; khimar, istilah generik untuk semua pakaian penutup kepala dan leher; jilbab, pakaian luar seperti dijelaskan di atas.

Latar belakang jilbab

Jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu. Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l'Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab, bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana jilbab merupakan pakaian adat di sana.
Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-Byzantium, menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara dan timur Jazirah Arab seperti Damaskus dan Baghdad yang pernah menjadi ibu kota politik Islam zaman Dinasti Mu'awiyah dan Abbasiah.
Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institu-tionalized), pakaian wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk pembakuan standar penulisan dan bacaan (qira'at) Al Quran.


Wacana jilbab dalam Islam

Ada dua istilah populer digunakan Al Qur’an untuk penutup kepala yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat generik. Kata khumur (QS. al-Nur:31) bentuk jamak dari khimar dan kata jalabib (QS. al-Ahdzab:59) bentuk jamak kata jilbab.
Al Quran dan hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak ada satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial.
Dua ayat di atas turun dalam konteks keamanan dan kenyamanan perempuan. Sementara dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap fenomena kelas masyarakat tertentu.
Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan.
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS al-Ahdzab:33,”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, dimaksudkan sebagai cara untuk meperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak. Soalnya, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. Status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Berbeda dari kaum perempuan merdeka. Dengan begitu, identifikasi perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama dengan budak. Istilah merdeka dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual laki-laki.
Sampai di sini, pertanyaan penting agaknya perlu dikemukakan. Kalau jilbab digunakan sebagai pencirian perempuan merdeka, bagai mana pakaian yang biasa dikenakan perempuan budak? Abdul Halim Abu Syuqqah menginformasikan bahwa kaum perempuan Arab pra Islam sebenarnya biasa mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode. Ada yang memakai cadar dan sebagainya. Beberapa bentuk dan mode pakaian yang dikenakan kaum perempuan Arab saat itu, berlaku bagi perempuan merdeka dan perempuan budak. Ketika Islam datang, mode dan bentuk pakaian yang menjadi tradisi masyarakat Arab jahiliyah masih diakui. Tetapi, ada dugaan kuat, seruan pemakaian jilbab terhadap perempuan-perempuan mukmin yang merdeka, mengindikasikan perempuan budak tidaklah mengenakan jilbab. Atau mereka mengenakannya, tetapi tidak mengulurkannya sampai menutup wajahnya. Tidak berjilbabnya perempuan budak masuk akal, karena tugas-tugas berat mereka untuk melayani majikannya.
Atas dasar itu, surat al-Ahzab 59, tampaknya hanya membicarakan ciri khusus pakaian perempuan merdeka, yang membedakannya dari pakaian perempuan budak. Ciri itu adalah jilbab. Jadi, ayat ini secara lahiriah, serta didukung latar belakang turunnya, hanya membicarakan jilbab sebagai ciri perempuan merdeka, untuk membedakannya dengan perempuan budak. Ayat ini tidak membicarakan aurat perempuan.
Pembicaraan mengenai batas-batas au-rat perempuan dikemukakan dalam ayat lain, misalnya surah al-Nur ayat 31. Para ahli tafsir, ketika mengartikan jilbab, menghubungkan surat al-Ahzab dengan surat an-Nur tadi. Dengan demikian, jilbab adalah pakaian tambahan, pelengkap atau aksesoris yang dirangkap pada pakaian lain yang untuk menutup tubuh perempuan merdeka.
Wahbah mengatakan, jilbab merupakan pelengkap kewajiban menutup aurat. Ini adalah tradisi yang baik, untuk melindungi pe-rempuan dari sasaran pelecehan laki-laki.
Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab yang berbunyi, ”Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri Nabi SAW), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka.”(Al-Ahzab:53)Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.

Jilbab sebagai fenomena resistensi

Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadap-hadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington sebagai benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung?
Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perem-puan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihan-nya secara sadar?

:: Tema Webblog Competition Djexpo 2008

10.05 Diposting oleh College student

Tema blog yang dapat dipilih adalah :

1.
” Sharing Knowledge ” berkaitan dengan berbagi ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu
2.
” Kampus Biru - Darmajaya ” berkaitan dengan segala hal yang berhubungan dengan darmajaya/ searching materi dapat diperoleh di www.darmajaya.ac.id
3.

Khusus peserta pelajar selain dua tema di atas dapat memilih tema blog “ Ayo Sekolah “ berkaitan tentang sekolah asal, misalnya profil sekolah, prestasi-prestasi sekolah, kegiatan-kegiatan ekstra, dan lain sebagainya menyangkut sekolah.

:: Kriteria Penilaian Webblog Competition Djexpo 2008

10.02 Diposting oleh College student

1.
Kesesuaian blog dengan tema (20 %)
2.
Kreativitas (terkait dengan kemampuan blogger untuk “menarik perhatian” pengunjung internet, misalnya : desain, animasi, fasilitas-fasilitas lain ) (15 %)
3.
Manfaat materi dalam blog (15 %)
4.
Originalitas/keaslian karya (misalnya : artikel/materi/animasi/image/dll.) yang dimuat dalam blog. (15 %).
5.
Keaktifan Posting (15 %)
6.
Popularitas (terkait dengan kemampuan Blogger dalam menjalin jaringan teman di seluruh dunia) (10 %)
7.

Posisi web/blog di search engine (google/yahoo) dengan keyword “ djbloger “ / “ djexpo2008 ” / “darmajaya“ (10 %)

:: Fasilitas Kampus Darmajaya

08.34 Diposting oleh College student

Perpustakaan

Perpustakaan adalah fasilitas mutlak yang harus dimiliki oleh semua institusi pendidikan, tidak terkecuali Perguruan Tinggi Darmajaya. Perpustakaan di Darmajaya memiliki koleksi buku-buku penting penunjang pendidikan bagi pendidikan ilmu komputer dan ilmu ekonomi, baik versi indonesia maupun versi text book, di tambah buku-buku penunjang lain dan cd-cd pembelajaran.

Perpustakaan Darmajaya saat ini telah memiliki layanan e-library, dengan e-library ini civitas akademika dapat terkoneksi dengan perpustakaan dari universitas terkemuka diindonesia dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi mengenai buku-buku pendidikan. dengan kata lain, "Sumber Ilmu Tidak Pernah Kurang"


Ruang Kuliah

Ruang Kuliah merupakan unsur terpenting, dalam proses belajar dan mengajar. Untuk kenyamanan proses tersebut, telah tersedia ruang kuliah yang representatif, di lengkapi dengan fasilitas pendukung seperti, Air Conditioner (AC), Meja, Kursi, White-board, dan sebagian besar untuk ruang khusus telah memiliki alat-alat pengejaran seperti (LCD, TV dan OHP).


Laboratorium Internet

Kegiatan berpraktikum bagi mata kuliah/pendidikan yang berbasis internet di dukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana laboratorium jaringan yang terkoneksi internet. Hal ini bertujuan agar mahasiswa melaksanakan praktikum dengan fasilitas dan layanan internet secara langsung/online.

Laboratorium Komputer

Laboratorium Komputer merupakan sarana terpenting dalam kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan peserta didik, Fasilitas laboratorium Komputer di Darmajaya adalah yang terlengkap dan tercanggih di provinsi Lampung.

Laboratorium Jaringan

Laboratorium Jaringan adalah laboratorium yang memiliki konfigurasi khusus dan saling terkoneksi antara satu dengan lainnya. Laboratorium ini diperuntukkan bagi mahasiswa/dosen yang melaksanakan kegiatan praktikum berbasis teknologi jaringan komputer. di Lab ini pula mahasiswa dapat merancang, membangun dan mengelola jaringan secara nyata dan benar dengan di dampingi oleh mentor-mentor yang berpengalaman.

Aula


Aula atau ruangan yang memiliki daya tampung cukup besar dimiliki oleh Perguruan TInggi Darmajaya. Aula ini peruntukkan bagi kegiatan-kegiatan yang melibatkan orang banyak. contohnya adalah kegiatan kemasiswaan, seminar, workshop, presentasi, kuliah umum dan lain-lain.

Laboratorium Bahasa


Laboratorium Bahasa merupakan pusat pendidikan bahasa yang dimiliki oleh perguruan tinggi Darmajaya. Lab ini berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pendidikan/pelatihan dan sertifikasi bahasa inggris bagi civitas akademika. pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di dukung oleh tenaga-tenaga bahasa yang berpengalaman.

Laboratorium Multimedia

Laboratorium Multimedia adalah laboratorium komputer yang memiliki spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak berbasis multimedia. dengan teknologi terbaru dan tercanggih yang khusus digunakan untuk keperluan pembelajaran multimedia.

Laboratorium Elektronika

Sarana dan prasarana berpraktikum perangkat keras dan elektronika bagi mahasiswa, terakomodir dengan ketersediaan Laboratorium Elektronika. Fasilitas dan sarana Laboratorium di khususnya untuk memenuhi kebutuhan praktik mahasiswa yang berkaitan dengan mata kuliah elektronika.

Tanah dan Bangunan

Perguruan Tinggi Darmajaya terletak di pusat kota Bandar Lampung dan berdiri diatas tanah seluas 2,5 hektar. Hal penting bagi eksistensi sebuah institusi adalah sertifikasi dan kepemilikan tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan perguruan tinggi Darmajaya adalah milik pribadi pengelola, khususnya Yayasan Pendidikan Alfian Husin, sehingga hal ini adalah jaminan kesinambungan kegiatan pendidikan di Darmajaya.

Laboratorium Akuntansi

Fasilitas praktikum bagi mahasiswa ekonomi di sediakan dalam bentuk laboratorium komputer akuntansi dan Laboratorium Akuntansi Manual. Penyediaan layanan ini diarahkan agar mahasiswa ekonomi memiliki bekal keahlian berbasis teknologi informasi dan keterampilan dalam bidang ekonomi akuntansi.

:: PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDIDIKAN

07.55 Diposting oleh College student

TUGAS MATA KULIAH
PENDEKATAN SISTEM DALAM PENDIDIKAN

Resensi Artikel

Dari Huruf Lontara ke Latin
Pergeseran Pendidikan Tradisional ke Kolonial di Makassar
(09 Agustus 2007 15:47)

http://article.melayuonline.com/?a=aWlzL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=


Oleh: Sarkawi

Dosen Pengampu:
Prof. DR. Sudjarwo
DR. Basrowi




Oleh
WINDA DARMAYANTI
NPM 0720005074
Kelas A



DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
2008


Dari Huruf Lontara ke Latin
Pergeseran Pendidikan Tradisional ke Kolonial di Makassar

http://article.melayuonline.com/?a=aWlzL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=

Oleh: Sarkawi

Abstrak:
Sebelum masuknya pendidikan kolonial, bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa yang terdidik. Hal tersebut terbukti dengan tumbuh suburnya pendidikan yang bersifat tradisional dan tersebar di seluruh nusantara, yang ditandai dengan berkembangnya penggunaan huruf lontara dan tradisi mangngaji.. Pengajaran Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisioanl tersebut. Namun demikian, pendidikan tradisional mengalami pergeseran ke pendidikan kolonial, khususnya ketika pemerintah kolonial Belanda membutuhkan pegawai-pegawai administrasi rendahan untuk mengisi pos-pos pemerintahannya. Oleh karena itu, sistem yang diterapkannya tidak lepas dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahakankan kekuasaan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pendidikan tersebut menjadi alat untuk memantapkan hegemoninya, dan melahirkan elit-elit baru yang nasionalis serta menjadi bumerang bagi kekuasaannya. Bertitik tolak dari hal tersebut, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan segi-segi yang berkaitan dengan pergeseran dua corak pendidikan itu di Makassar.
Kata Kunci: pendidikan tradisional, huruf lontara, tradisi mangngaji, pendidikan kolonial, kweekschool

1. Pendahuluan
Selama ini terdapat anggapan bahwa sebelum intervensi asing (baca: pemerinatah kolonial Belanda) dalam bidang pendidikan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang buta huruf. Kalau yang dimaksud adalah buta huruf latin mungkin benar, akan tetapi kalau buta huruf tradisional-lokal, realitas sejarah tidak dapat menerima anggapan tersebut. Hal itu karena sebelum tersentuh dengan pendidikan yang bercorak modern, bangsa Indonesia telah lama mengenal pendidikan yang sifatnya tradisional. Pada zaman Hindu dan Budha misalnya, pendidikan tradisional berjalan dengan baik dan telah menghasilkan karya-karya yang terkenal, seperti Pararaton dan Negara Kertagama.
Pendidikan yang diutamakan pada zaman itu adalah pendidikan keagamaan, pemerintahan, strategi perang dan ilmu kekebalan, kemahiran menunggang kuda, dan memainkan senjata tajam. Pendidikan dilakukan oleh para brahmana kepada siswa dalam jumlah terbatas pada suatu padepokan. Dengan kata lain, siswa tinggal serumah dengan guru dan istri guru dianggap sebagai ibu mereka. Sang guru dianggap sebagai seorang yang sakti sehingga ia sangat dihormati. Ia tidak mempunyai penghasilan tetap, tetapi sewaktu-waktu menerima pemberian sukarela dari orang tua siswa. Selain dengan sistem padepokan, seorang bangsawan, ksatria atau pejabat kerajaan lainnya meminta guru datang ke istana untuk mengajar putra-putrinya. (Gunawan, 1986: 5-6).
Seperti halnya pada zaman Hindu dan Budha, ketika Islam masuk dan berkembang di nusantara, aspek pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Sistem pendidikan yang banyak dianut dan dikembangkan pada masa itu adalah sistem pendidikan langgar dan pesantren. Langgar yang terdapat di hampir seluruh desa di Indonesia, selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Di langgar, seorang guru yang juga biasanya pengurus langgar mengajarkan kepada siswa membaca Alquran dan diberikan pada pagi atau sore hari sekitar 2 jam.
Pendidikan di langgar diajarkan hal-hal yang bersifat dasar, sedangkan di pesantren lebih meningkat dan mendalam. Siswanya disebut santri berasal dari berbagai tempat dan dikumpulkan dalam suatu pondok (semacam asrama) yang di dekatnya terdapat mesjid dan rumah guru. Pelajaran-pelajaran yang diberikan antara lain nahwu (syntax) dan saraf (morfologi), fiqh, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawwuf, etika dan cabang lain seperti tarik dan balaghah (Dhofier, 1982: 44-45).
Akan tetapi, ketika pendidikan kolonial mulai muncul dengan aturan dan sistemnya sendiri maka pendidikan tradisional yang sudah menjadi bagian dari masyarakat mulai kehilangan pamor. Peran seorang pengajar yang memiliki kharisma di mata para siswanya, mulai digantikan dengan kehadiran seorang guru yang mengajarkan pelajaran umum di kelas. Munculnya banyak sekolah"kolonial" tersebut juga berkaitan dengan perubahan arah kebijakan pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Eksploitasi terhadap bangsa Indonesia sebagai pembenaran utama atas kekuasaannya mulai berkurang dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia (Ricklefs, 1995: 227).
Kebijakan tersebut dinamakan politik etis yang berpangkal pada gagasan "kewajiban moral" dan "hutang budi" (een eerschuld) pemerintah kolonial terhadap tanah jajahan. Pidato tahunan Ratu Wilhelmina dari tahta kerajaan di Negeri Belanda pada September 1901 mengumandangkan bermulanya "zaman etis" dengan trilogi kebijakan: edukasi, irigasi, dan emigrasi (Bosch, 1941: 64). Berangkat dari hal di atas, tulisan ini akan melihat keberadaan pendidikan tradisional di Makassar dan pergeserannya ke pendidikan kolonial.

2. Kajian Literatur dan Pembahasan Konsep
2. 1. Pendidikan Tradisional
Di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis-Makassar, pendidikan tradisional sudah dikenal sejak lama. Bahkan, kedudukan mereka yang terpelajar disebut To-panrita dan To-sulesana sangat dihargai. Wujud penghargaan itu antara lain adanya kemungkinan bagi mereka untuk memperistri gadis golongan bangsawan.
Sistem pendidikan tradisional yang telah berlangsung cukup lama tersebut dapat dibuktikan melalui dua hal. Pertama, dikenalnya aksara tradisional dalam masyarakat yang disebut huruf lontara dan huruf serang dan kedua, cara pengajaran membaca Alquran yang disebut dengan mangngaji. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi). Huruf lontara biasa juga dinamakan dengan hurupu sulapa’ appaka (Bugis: sulapa’ eppa) yang berarti huruf yang bersegi empat. Penamaan ini berpangkal pada kepercayaan dan pandangan mitologi orang Bugis-Makassar yang memandang alam ini sebagai satu kesatuan yang dinyatakan dengan simbol / / = sa, yang berarti
/ / = seua (tunggal atau esa). , simbol / / ini merupakan mikrokosmos/sulapa eppa’na taue (segi empat tubuh manusia), di puncak terletak kepalanya, di sisi kiri dan kanan adalah tangannya, dan ujung bawah adalah kakinya. Simbol / / itu menyatakan diri secara konkrit pada bahagian kepala manusia yang disebut "saung" / /, berarti mulut atau tempat keluar. Menurut mereka, dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan, yakni / / = sadda (bunyi). Bunyi itu disusun sehingga memiliki makna (simbol-simbol) yang disebut / / = ada (kata, sabda, atau titah). Dari kata / / ada (kata) inilah keluar segala sesuatu yang meliputi seluruh tertib kosmos (sarwa alam) yang diatur melalui / / ada (kata atau logos). Bila kata itu dibubuhi kata sandang tertentu / / = E, ia menjadi / / adae (kata itu). Inilah yang menjadi pangkal kata / / = ade’ (adat), yakni sabda atau penertib yang meliputi sarwa alam / / = sa. (Mattulada, 1995: 8-9).
Adapun huruf-huruf lontara yang biasa digunakan adalah: (Noorduyn, 1993: 535).
Ka ga nga ngka pa ba ma mpa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
ta da na nra ca ja nya nca
(9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16)
ya ra la wa sa a ha
(17) (18) (19) (20) (21) (22) (23)
Tanda bunyi:
___ i: misalnya ki ditulis:
___ u: misalnya gu ditulis:
___ e: misalnya nge ditulis:
___ o: misalnya po ditulis:
___ e: misalnya be ditulis:
Catatan: Huruf keempat, kedelapan, dan keenambelas hanya digunakan dalam lontara Bugis, tetapi tidak terdapat pada lontara Makassar.
Tradisi literer dengan menggunakan huruf lontara mengalami perkembangan paling pesat pada abad ketujuh belas. Dengan pengaruh contoh-contoh sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai menuliskan tarikh yang setia fakta (matter-of-fact) yang merinci pesatnya perkembangan Makassar. Tujuan penulisan ini adalah semata-mata agar raja-raja tidak dilupakan oleh anak-anak, cucu-cucu dan keturunannya, karena ada dua bahaya kebodohan yaitu kita merasa sebagai raja-raja besar atau orang lain menganggap kita orang-orang yang tak berarti (Reid, 1992: 275).
Tradisi yang sangat kokoh bagi pencatatan masa lampau ini didorong oleh bakat luar biasa dari Karaeng Patingngaloang (1600-1654), yang dikenal telah menyuruh seorang Ambon pelarian di Makassar agar menulis sejarah Maluku dalam bahasa Melayu. Sebagai menteri utama kerajaan Makassar, ia membuat pembaharuan-pembaharuan istimewa dalam urusan pemetaan, letak istana, penerjemahan naskah-naskah kemiliteran dari bangsa Portugis, Turki, dan Melayu ke dalam bahasa Makassar. Di samping itu, kebiasaan menuliskan kelahiran, perkawinan, dan perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal dan utusan, pembangunan benteng dan istana serta berjangkitnya wabah dengan menggunakan sistem penanggalan ganda Masehi dan Hijriah merupakan kebiasaan yang tidak tertandingi di negeri di bawah angin dalam hal kepadatan dan ketelitiannya (Reid, 1992: 275 & Norduyn, 1995: 134).
Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-10, I Mario-gau’ Daeng Bonto bergelar Karaeng Lakiung, gelar anumerta Karaeng Tunipallangga, diangkatlah seorang pejabat istana yang bergelar Tu-mak-kajannangang ana’ bura’ne (Mattulada, 1995:13-14). Tugas pejabat ini adalah mengepalai dan mengawasi anak-anak para bangsawan di seluruh kerajaan. Pejabat inilah yang bertugas menyalurkan anak-anak bangsawan ke berbagai pendidikan yang sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain penyaluran ke berbagai pendidikan, seorang anak bangsawan yang dipersiapkan menerima warisan dalam salah satu jabatan pemerintahan diberikan satu daerah khusus yang disebut bate ana karaeng. Di daerah inilah mereka dididik sebagai kepala daerah khusus. Mereka diberi hak menghadiri pertemuan-pertemuan dewan adat dan juga dilatih mengeluarkan pendapatnya dalam pertemuan itu.
Hasil kerja seorang anak bangsawan dalam memerintah daerah bate ana karaeng mendapat penilaian dari para pembesar di pusat, terutama oleh sombaya (raja) sendiri. Mereka juga harus menempuh ujian akhir seperti keperwiraan, ketangkasan mempergunakan bermacam-macam senjata, menunggang kuda dan berburu. Tradisi ini menunjukkan bahwa syarat untuk menduduki jabatan adalah status sosial, kecerdasan, keterampilan dan bakat.
Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-10 dikembangkan keterampilan seperti pandai besi, pembuat bangunan rumah dan perahu, pembuatan sumpit, senjata dan lain-lain. Selanjutnya, dengan dipeluknya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tanggal 9 November 1607, sistem pendidikan tradisional semakin berkembang. Mesjid Kalukubodoa (Tallo-Gowa) misalnya, menjadi pusat pengajian Islam yang dikunjungi oleh siswa baik dari kerajaan Gowa maupun dari segenap negeri-negeri Bugis-Makassar lainnya yang telah menerima agama Islam.
Pada masa pemerintahan raja Gowa ke-15 (1637-1653) Sultan Malikussaid (I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung), tiap-tiap negeri (bate) memiliki mesjid dan di tiap-tiap kampung memiliki langgara’ (langgar). Selain dipergunakan untuk shalat, mesjid dan langgar juga digunakan sebagai tempat pengajian agama bagi anak-anak muda di tempat itu. Guru yang mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu Islam lainnya disebut anrong-gurunta atau gurunta. (Mattulada, 1995: 29).
Selain itu, penulisan dan penyalinan buku-buku agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar (lontara) giat dilaksanakan. Berbagai lontara yang asalnya dari bahasa Melayu diduga berasal dari zaman permulaan perkembangan Islam di Sulawesi Selatan (abad ke-17 dan 18), sampai sekarang masih populer di kalangan orang tua-tua Bugis-Makassar. Lontara yang dimaksud antara lain: (1) Lontara perkawinan antara Sayidina Ali dengan Fatima, putri Rasululullah, (2) Lontara Nabi Yusuf dan percintaan Laila dan Majnun, (3) Sura’ bukkuru yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan lontara pau-paunna Sultanul Injilai, (4) Budi Istihara, (5) Kitta faraid (Kitab Hukum Pewarisan), (6) Kitta Nika (Kitab Hukum Perkawinan), (7) Lontara’na Sehe Maradang, (8) Lontara tentang peperangan Nabi Muhammad dengan raja Hindi, (9) Berbagai mukjizat Nabi Muhammad, dan (10) Lontara tentang wewenang kali (kadhi) menurut sara’ dan banyak yang lain (Mattulada, 1995: 28).
Berbagai fenomena historis di atas, memberikan pemahaman kepada kita bahwa perkenalan yang intensif terhadap pendidikan (baca: pendidikan tradisional) bagi masyarakat Indonesia, khususnya Makassar telah berlangsung jauh sebelum intervensi asing. Namun demikian, seiring dengan kehadiran pemerintah kolonial di wilayah ini maka pendidikan tradisional juga mengalami pergeseran.

2. 2. Menuju Pendidikan Kolonial
Praktik pendidikan tradisional di Makassar mulai bergeser ke sistem pendidikan kolonial sejak seorang pendeta yang bernama Benjamin Fredrick Matthes bersama dua orang kawannya mendirikan kweekschool (sekolah guru) pada tahun 1876. Pada tahun 1880, pemerintah kolonial mengambil alih sekolah itu dan mengangkat Matthes sebagai direkturnya. Pengambilalihan kweekschool oleh pemerintah kolonial sekaligus menandai munculnya pendidikan formal di Makassar (Indische Gids, 1885: 1567-68; AVGCO, 1879 No. 132/1).
Pengambilalihan kweekschool tersebut tidak dengan sendirinya menyuburkan pendidikan di Makassar. Bahkan, dibanding dengan daerah lainnya (misalnya Manado), perkembangan pendidikan di Makassar relatif lebih lambat. Keterlambatan tersebut karena perhatian pemerintah Hindia Belanda terkonsentrasi pada usaha penaklukkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang baru diselesaikannya pada tahun 1905. Selain itu, kaum kerabat dekat dari bekas raja dan kaum bangsawan yang dalam strata sosial pada masa lampau tergolong bangsawan tinggi tidak banyak menggunakan kesempatan untuk belajar di sekolah formal. Mereka tidak tertarik pada lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena beranggapan dengan memasuki lembaga pendidikan kolonial berarti mereka akan di-Belanda-kan dan dijadikan ata (budak) yang mengabdi pada kepentingan kolonial. Akan tetapi, dalam perkembangannya, khususnya ketika hampir seluruh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dikuasai dan setelah pemerintah mengembangkan suatu aparat administrasi kekuasaan Hindia Belanda, pemerintah kolonial mulai membuka sekolah rendah seperti sekolah desa dan Inlandsche School (sekolah pribumi) bagi anak-anak keluarga terkemuka. Di sekolah-sekolah tersebut siswa diberi pelajaran berhitung, menulis dan membaca untuk disiapkan menjadi pegawai rendah administrasi kekuasaan Hindia belanda.
Dari fenomena masuknya pendidikan kolonial di Makassar berbagai hal dapat diungkapkan, seperti perkembangan pendidikan dasar, menengah, dan lanjutan. Selain itu, dapat pula dikaji lebih jauh tentang signifikansi pendidikan dengan mobilitas sosial, pendidikan dengan pers, pendidikan dengan pergerakan nasional, dan lain-lain. Pada bagian ini hanya akan dideskripsikan pendidikan kejuruan yang pernah ada di Makassar, khususnya peralihan dari Kweekschool ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah kelanjutan bagi para pejabat pribumi dengan harapan dapat membuka kajian yang lebih dalam dan intensif tentang pendidikan Makassar.

2. 2. 1. Kweekschool
Kehadiran kweekschool di Makassar tidak dapat dipisahkan dengan peran Matthes di daerah ini. Matthes lahir di Amsterdam pada 16 Januari 1818 dari perkawinan H.J. Matthes dengan W.M.E. Hayer (ENI, 1919:689). Pada tahun 1873, Matthes yang saat itu tinggal di Belanda, setelah seperempat abad mempelajari bahasaBugis dan Makassar di Sulawesi Selatan sebagai utusan Nederlandsch Bijbelgenootschap (NEG) oleh pemerintah diminta agar kembali ke Makassar dalam dinas negara. Matthes diminta untuk membuka kweekschool bagi guru pribumi dan untuk mendidik para juru bahasa di Makassar. Untuk membantunya, pada tahun 1874 pemerintah memperbantukan L.W.Th. Schmidt yang bekerja sebagai guru di Hindia Belanda dan memiliki ijazah sebagai pegawai bagi bahasa Melayu dan bahasa pribumi lainnya. Pada tanggal 1 Oktober 1875 keduanya berangkat ke Makassar. (IG,II, 1885: 1567-1568).
Pada bulan Juli 1876, Matthes membuka kweekschool yang oleh penduduk disebut sebagai "sekolah raja". Selain Schmidt dan H.W. Bosman, Matthes juga dibantu oleh La Mangewa Daeng Manasa. Yang disebut terakhir adalah guru yang membantu dalam bidang bahasa Bugis dan Makassar.
Pada awalnya sekolah yang dibuka Matthes (1876) yang bertujuan mencetak guru mengalami kesulitan dalam mendapatkan siswa. Siswa yang tertampung sangat sedikit yakni sekitar 20 orang. Umumnya siswa sekolah berasal dari keluarga raja dan atau kerabat raja yang pernah memperoleh pendidikan privat di rumah masing-masing. Inilah salah satu alasan sekolah ini disebut oleh penduduk sebagai sekolah raja. Pada akhir tahun 1878 di sekolah ini terdapat 18 guru bantu, 16 pengurus pembantu dan 5 juru bahasa. Sementara itu, pada tahun pelajaran 1879/1880, sekolah ini memiliki 39 siswa dan tiga guru bantu (AVCO,1879:68-71).
Pada 31 Oktober 1879 atas permohonan sendiri, Matthes mengundurkan diri sebagai direktur dan diganti oleh Schmidt dan pada tahun 1880 Matthes kembali ke Belanda (AVGCO, 1879 No. 132/1, IG, Jilid II, 1885: 1567-1568). Sejak saat itu kweekschool mengalami kemunduran drastis. Kweekschool yang semula tidak hanya bertujuan mendidik guru pribumi, tetapi juga juru bahasa dan pegawai pribumi kini oleh pemerintah Hindia Belanda dibatasi hanya untuk mendidik calon guru. Menurut pemerintah Belanda penciptaan juru bahasa Bugis dan Makassar lebih baik dilakukan pada biro pribumi di kantor gubernur (KV, 1880:92, STNI,1880 No.77).
Setahun sebelum reorganisasi, yakni pada akhir tahun 1885, kweekschool di Makassar memiliki 31 orang siswa dan sejak tahun 1886 jumlah siswa sekolah itu mengalami penurunan. Penurunan itu disebabkan oleh reorganisasi yang ditandai dengan keluarnya Staatsblad No. 189 tahun 1885, yang menetapkan antara lain bahwa sejak 1 Januari 1886 jumlah maksimal calon guru yang diterima dikweekschool Makassar dikurangi dari 50 menjadi 25 orang (STNI, 1885 No. 189).
Pengurangan jumlah siswa ini disebut oleh Jhs. J.K.W. Quarles van Ulfrod sebagai "hukuman mati" bagi kweekschool untuk guru pribumi di Makassar. Re-organisasi ini akhirnya menjadi perdebatan di parlemen negeri Belanda. Perdebatan bermula ketika Quarles mengirimkan tulisannya pada majalah Venderland tanggal 10 November 1885 dan dalam majalah Indische Gids pada Desember 1885 dan artikel pada 29 dan 30 November 1885 serta usulannya pada Majelis Tinggi Parlemen (IG, 1885, II, hlm. 1567-1568).
Menurut Quarles apa yang disampaikan oleh menteri urusan jajahan kepada majelis tinggi dalam kasus kweekschool di Makassar adalah tidak benar. Menurutnya, dia dan Matthes lebih mengerti apa yang terjadi di Hindia Belanda jika dibandingkan dengan menteri jajahan. Akan tetapi, pemerintah Belanda tetap pada keputusannya untuk membatasi jumlah siswa kweekschool Makassar dari 50 menjadi 25 siswa terhitung 1 Januari 1886.
Sejak pengurangan itu, jumlah siswa kweekschool tiap tahun mengalami penurunan. Pada tahun 1886, 1887, 1889, dan 1890 jumlah siswanya berturut-turut 25, 24, 23, dan 22 (KV, 1887-1891). Penurunan ini berlanjut terus sampai dihapusnya sekolah ini pada Oktober 1910. Untuk memenuhi kebutuhan guru yang merupakan kebutuhan mendesak di Makassar maka dibukalah Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) yang di dalamnya juga dididik calon pegawai.

2. 2.2. Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA)
Pendidikan OSVIA atau Sekolah Latihan bagi Pejabat Pribumi sangat berkaitan dengan pendekatan "elitis" yang ditempuh oleh J.H. Abendanon, direktur pendidikan "etis" yang pertama (1900-1905). Di bawah Abendanon, pada tahun 1900 Hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Bijblad STNI, 1900 No. 5516).
Problem kekurangan guru di Makassar merupakan masalah serius dalam upaya meningkatkan jumlah sekolah untuk memajukan pendidikan masyarakat. Di samping itu, mendidik anak-anak bangsawan dan melatih para calon pegawai juga merupakan kebutuhan mendesak. Untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut maka sekolah kombinasi untuk pegawai negeri dan guru (OSVIA) didirikan di Makassar yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Pemerintah tanggal 10 Agustus 1910 No. 50. Kombinasi tersebut membuat OSVIA Makassar berbeda dengan OSVIA di daerah lainnya seperti Bandung, Magelang, dan Probolinggo yang berdiri sendiri.
Sekolah yang secara resmi dibuka pada tanggal 17 Oktober 1910 ini memiliki masa studi enam tahun dan menerima lulusan sekolah-sekolah dasar berbahasa Belanda. OSVIA menerima siswa tidak hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tetapi juga dari Kalsel dan Kaltim, Timor, Manado, dan Ternate (AVIO, 1910: 67). Untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan siswa dipungut uang sekolah yang berkisar antara f 1-10 sebulan. Akan tetapi, jika jumlah penghasilan orang tua atau walinya kurang dari f 150 sebulan maka seorang siswa mendapatkan pelajaran secara gratis dengan jalan mengajukan permohonan pada pihak sekolah.

2. 3. Sistem Penerimaan Siswa
Sistem pendidikan kolonial Belanda yang diterapkan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahankan kekuasaannya. Tujuan utama ini tidak berubah walaupun di negeri Belanda terjadi pergeseran dari politik kolonial liberal ke politik etis. Oleh karena itu, pendidikan sebagai instrumen yang sangat penting bagi berlangsungnya kekuasaan kolonial di Indonesia selalu diarahkan pada pencapaian tujuan. Dalam hal ini yang terpenting adalah untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah (lokal) atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan swasta yang erat hubungannya dengan pemerintah (Furnivall, 1943: 35; Mustika Zed, 1991: 19).
Secara umum dapat dilihat bahwa penyelenggaraan pendidikan kolonial berorientasi pada prinsip-prinsip garis warna (color line), diskriminasi, segregasi, dan nonakulturatif (Djoko Suryo, 1996). Prinsip-prinsip ini direalisasikan dengan penyelenggaraan pendidikan yang dibedakan menurut pembagian golongan masyarakat kolonial, yakni untuk golongan Eropa, Timur Asing (Cina) dan golongan pribumi kemudian penyelenggaraan pendidikan dibedakan menurut status sosial, yakni pendidikan untuk kaum elite dan pendidikan untuk rakyat biasa. Pemisahan menurut golongan ras dan status sosial itu dipertegas dengan diferensiasi dalam hal penggunaan bahasa pengantar, yakni bahasa Belanda untuk pendidikan orang-orang Eropa dan golongan elite dan bahasa daerah bagi pendidikan golongan rakyat biasa.
Menurut Vastenhouw (1964), sistem pendidikan dualistis di atas adalah ciri khas pendidikan di Indonesia pada masa kolonial. Perbedaan antara kedua jenis pendidikan itu pada hakekatnya jauh lebih besar daripada perbedaan antara kedua macam bahasa pengantar tersebut. Pendidikan berbahasa pengantar Belanda tersusun lengkap dan terdiri atas pendidikan rendah, menengah, kejuruan dan pendidikan tinggi. Pada tahun 1940 jumlah siswa sekitar 180.000 orang, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan relatif tinggi yakni sekitar 21 juta rupiah, sedangkan pengeluaran pemerintah seluruhnya untuk pendidikan berjumlah kira-kira 33 juta rupiah. Jadi 2/3 dari pengeluaran itu dipergunakan untuk membiayai pendidikan berbahasa pengantar Belanda. Di lain pihak, pendidikan yang berbahasa pengantar bumiputera memiliki susunan yang tidak lengkap dan hanya meliputi pendidikan rendah yang sangat sederhana dengan jumlah siswa lebih dari 2 juta orang.
Realisasi lebih lanjut dari diferensiasi atas ras, status sosial maupun bahasa tersebut dapat dilihat pada pengaturan penyelenggaraan pendidikan dasar yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1893, No. 125. Dalam Staatsblad tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar di Hindia Belanda dibedakan atas Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerste Klasse School) yang diperuntukkan bagi anak-anak para pemuka, tokoh terkemuka dan terhormat bumiputera dan sekolah dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) yang diperuntukkan bagi bumiputera pada umumnya.
Dalam menerima siswa, khususnya untuk jurusan pemerintahan, OSVIA memiliki aturan sebagai berikut. Kategori A diperuntukkan bagi siswa yang orang tuanya menjabat pamong praja atau keturunan pamong praja. Kategori B adalah siswa yang berasal dari keturunan bangsawan dan kategori C adalah mereka yang tidak termasuk kategori A dan B. Mereka yang berkategori A dan B bila tamat HIS segera diarahkan ke pendidikan jurusan kepemerintahan, sedangkan yang berkategori C dapat melanjutkan ke OSVIA dengan mendapat surat rekomendasi dari kepala distrik di wilayahnya. Untuk mengetahui kategori seorang siswa, kepala sekolah mempelajari kategori seorang siswa yang dibuat dan disetujui oleh kepala distrik. Silsilah tersebut dikirim kepada Inspecteur Inlands Onderwijs (Pegawai Pendidikan Pribumi) yang berkedudukan di Makassar untuk memperoleh persetujuan apakah siswa yang bersangkutan berhak menempuh pendidikan di OSVIA. Hasil seleksi ini akan dikirim kepada residen, yang kemudian mengeluarkan surat keputusan siapa-siapa yang berhak memasuki tahun ajaran berikut di OSVIA (Wowor, 1993: 6-7).
Di sekolah ini siswa menerima pelajaran bahasa Belanda, Melayu, Bugis, Makassar, Geografi, Sejarah, Ilmu Alam, Berhitung, dan Menulis Indah, sedangkan yang memilih untuk menjadi calon pegawai mendapat tambahan pelajaran seperti Prinsip-prinsip Agraris, Ilmu Ekonomi Negara, Prinsip-prinsip Negara dan Administrasi Hukum, Ilmu Hukum, dan Ilmu Ekonomi Pertanian.
Sejak didirikannya tahun 1910 sampai pada tahun 1931, OSVIA Makassar memiliki peminat yang cukup besar dan stabil. Sulawesi Selatan merupakan pemasok siswa yang paling banyak disusul Kalsel dan Kaltim, Timor, Manado, Ternate, dan Ambon (KV, 1910-1927; AVVO, 1933: 85). Namun demikian, sekolah yang semula berdiri atas hasil reorganisasi dari kweekschool ini kembali menghadapi persoalan yang sama. Pada akhir tahun ajaran 1933/1934 sekolah ini dihapus dan selanjutnya digabung dengan MULO dengan jalan menambahkan satu kelas lanjutan selama satu tahun. Re-organisasi dilakukan dengan maksud penghematan anggaran. Data tentang perkembangan sekolah ini setelah digabung dengan MULO tidak ditemukan, kecuali disebutkan bahwa pada akhir tahun pelajaran 1936/1937 semua siswa dari bekas OSVIA telah lulus (AVVO, 1939: 42).




3. Simpulan
Dari deskripsi di atas beberapa hal dapat disimpulkan. Pertama, sebelum masuknya pendidikan kolonial di Makasar telah tumbuh dengan baik pendidikan tradisional yang ditandai dengan berkembangnya penggunaan huruf lontara dan tradisi mangngaji. Pengajaran Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisioanl tersebut.
Kedua, dalam pengembangan pendidikan tampak bahwa pemerintah kolonial Belanda berada dalam posisi dilematis. Pada satu segi ingin memenuhi "kewajiban moralnya" atas bangsa Indonesia yang telah lama dieksploitasi, tetapi pada segi yang lain terbentur pada anggaran dan kepentingan pemantapan hegemoninya di Sulawesi Selatan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya reorganisasi dengan maksud menghemat anggaran sekaligus mencetak tenaga guru dan pegawai pribumi yang akan mengabdi pada kepentingannya.
Ketiga, sistem rekruitmen atau penerimaan siswa juga memperlihatkan ciri umum dari sistem pendidikan kolonial yang berorientasi pada prinsip-prinsip garis warna (color line), diskriminasi, segregasi, dan nonakulturatif. Prinsip ini direalisasikan
dalam bentuk pengaturan penerimaan siswa OSVIA yang dibagi atas tiga kategori yaitu anak pamong praja, anak bangsawan, dan mereka yang tidak termasuk di antara keduanya. Dengan demikian, upaya untuk membayar "hutang budi" kepada bangsa Indonesia, khususnya di Makassar dapat dikatakan tidak tercapai. Sebaliknya dengan kebijakan yang tampaknya setengah hati itu justru semakin memantapkan kekuasaannya lewat penciptaan pegawai-pegawai administrasi yang setia kepadanya.

Pustaka Acuan
Ary H. Gunawan. 1986. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Algemeen Verslag van het Gouvernement celebes en Onderhoorigheden over het Jaar 1879 No. 132/1. Koleksi Arnas: Bundel Makassar No. 10/11.
Algemeen Verslag van het Celebes en Onderhoorigheden over het Jaar 1879 (AVvCO). . Koleksi ANRI: Bundel Makassar No. 10/10.
Algemeen Verslag van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch-Indie, 1910. 1912. Batavia: Landsdrukkerij.
Algemeen Verslag van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie, 1936-1937 (AVVO). 1939. Weltvreden: Landsdrukkerij.
Algemeen Verslag van het Inlandsch Onderwijs in Nederlandsch-Indie over het Schooljaar 1930/1931. 1933. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Ben Wowor, dkk. 1993. Drs. H.R. Ticoalu: Sebuah Biografi, Profil Seorang Abdi Masyarakat. Manado, Yayasan Drs. H.R. Ticoalu, 1933.
Bijblad STNI, 1900 No. 5516
Bosch, Amry van den. 1941. The Dutch East Indies: Its Governement, Politics, and Problems. Berkeley: Berkeley University Press.
Djoko Suryo, 1996. "Pendidikan, Diferensiasi Kerja & Pluralisme Sosial: Dinamika Sosial Ekonomi 1900-1990". Makalah disampaikan pada Konggres Sejarah Nasional Indonesia di Jakarta, Tanggal 12-15 Nopember 1996.
Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (ENI). 1919. ‘s-Gravenhage Martinus Nijhoff, Leiden: E.J. Brill.
Furnivall, J.S. 1943. Educational Progress in Southeast Asia. New York


International Secreatariat Institute at Pasific Relations, 1943.
Indische Gids, Jilid II, 1885
Koloniaal Verslag, 1880, 1882, 1887-1891, 1910-1927.
Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujungpandang: Hasanuddin University Press.
Mestika Zed. 1991. "Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perpektif sejarah"; dalam SEJARAH, Pemikiran, Rekonstruksi, Perspepsi I. Jakarta: MSI-Gramedia, 1991.
Noorduyn, J. 1993. "Variation in the Bugis Makassare Script" dalam BKI, Deel 149.
-----. 1995. "Asal Mula Historiografi di Sulawesi Selatan" dalam Soedjatmoko, dkk. Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Reid, Anthony dan David Merr, ed. 1992. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 77.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1885 No. 189.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1893 No. 125.
Vastenhouw, M. 1964. Inleiding tot de Voor Oorlogsche Paedogogische Problemer in Indonesia. Groningen: J.B. Wolter, 1964.
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Sarkawi, adalah Staf Pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya.


:: Event Darmajaya Expo 2008

08.04 Diposting oleh College student

Darmajaya Helat Dj’s Expo....

“ Darmajaya Web Blog Competition “

Dalam rangka Darmajaya Expo 2008, civitas akademika Darmajaya akan mengadakan kegiatan yang bertajuk sebuah kompetisi web blog atau ” Darmajaya Web Blog Competition ”
“ Darmajaya Web Blog Competition “ adalah lomba berbasis web blog melalui media internet dengan mengedepankan adanya pemanfaatan teknologi untuk penyebaran informasi. Kompetisi ini memberikan tantangan kepada seluruh pengguna internet dari berbagai kalangan untuk berunjuk kebolehan dalam mendesain blog dan mengorganisir informasi yang terkandung dalam blognya menjadi lebih menarik.

:: PENDAYAGUNAAN ETNIS SUMATERA UTARA

07.58 Diposting oleh College student

TUGAS INDIVIDU

PENDAYAGUNAAN ETNIS SUMATERA UTARA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI
disunting dari artikel :”studi pendayagunaan etnis di sumatera utara”; oleh Abdullah, Dosen Fakultas Dakwah IAIN SU diterbitkan oleh Pusat penelitian IAIN Sumatera utaran, 2003.


OLEH
FIRMAN MENDROFA
0720005017



PASCA SARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG


Kecanggihan media komunikasi dan alat transportasi telah menjadi faktor utama bergulirnya era globalisasi. Kemajuan tekhnologi komunikasi dan informasi seperti internet, e-mail, televisi kabel, dan telepon selular telah memungkinkan orang di seluruh dunia berkomunikasi dan melakukan sharing informasi tanpa terhalang oleh batas-batas negara, regional atau budaya. Kecanggihan yang luar biasa dari media komunikasi dan transportasi, kini terus dipercanggih dan telah membuat planet bumi yang luas ini menjadi seolah-olah sebuah desa kecil. Dunia seolah-olah menjadi a global village, tidak berbatas (borderless), dan setiap individu kemudian menjadi warga global.

Globalisasi disamping menjanjikan berbagai keuntungan, peluang dan harapan, juga menimbulkan permasalahan dan tantangan tersendiri terhadap setiap warga suku bangsa, terutama yang concerned dengan pelestarian dan penguatan nilai, norma, tradisi dan budaya lokal yang mereka miliki. Permasalahannya menjadi lebih serius karena adanya kecenderungan kuat bagi warga negara terbelakang atau sedang berkembang seperti Indonesia untuk berkiblat dan meniru gaya hidup negara maju (Barat) yang disajikan dalam berbagai media.

Keadaan seperti ini tentu saja mengharuskan kita untuk mengatur strategi dan mekanisme tertentu dengan memanfaatkan segala potensi yang ada untuk mencoba membentengi ekses yang mungkin ditimbulkan terhadap moral dan budaya lokal. Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa salah satu agen yang dapat diandalkan untuk melakukan hal ini adalah primus interpares yang ada dalam masyarakat lokal.

Masyarakat di Sumatera Utara terdiri dari berbagai etnis, baik etnis asli maupun etnis pendatang. Etnis asli di Sumatera Utara adalah Melayu, Mandailing (Tapanuli selatan), Karo, Pak-pak, Batak Toba, Nias, dan Pesisir. Masing-masing etnis memiliki adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai potensi untuk dikembangkan, dan dijadikan alat untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan masyarakat menghadapi persaingan yang semakin ketat pada era globalisasi. Karena itu, perlu dilakukan penelitian yang seksama untuk mengidentifikasi potensi-potensi etnis yang relevan dikembangkan pada masa yang akan datang.

Tatanan kehidupan Social, Ekonomi, dan Budaya

1. Sistem Organisasi.

Setidaknya ada lima etnis di Sumatera Utara yang memiliki sistem organisasi kemasyarakatan yang hampir sama, yaitu; etnis Pakpak, Batak Toba, Simalungun, Mandailing, dan Karo. Etnis tersebut pada mulanya hidup berkelompok-kelompok pada seuatu perkampungan dan masing-masing kelompok merupakan suatu kelompok marga atau kerabat dekat. Pemimpin kelompok biasanya orang yang pertama membuka kampung atau keturunannya.

Sistem kekerabatan pada dasarnya diatur menurut falsafah Dalihan Natolu (Batak Toba), Sulang Silima (Pakpak), Deliken Sitelu (Karo), Tolu Sahundulan, Lima Sauduran (Simalungun).

Sistem kekerabatan etnis pesisir dikenal dengan adat Sumando, yang merupakan campuran dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak Toba dan Mandailing.

Etnis Melayu, memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan etnis lain yang ada di Sumatera Utara. Sistem kekerabatannya diatur menurut garis keturunan ayah maupun ibu. Pada etnis Melayu, tidak dikenal sistem marga, karena itu kerabat pada etnis Melayu lebih sederhana daripada etnis-etnis yang menganut sistem marga.

Etnis Nias, juga mengenal adanya marga sebagaimana yang ada pada etnis Batak. Akan tetapi, sistem kekerabatannya tidak diatur berdasarkan falsafah dalihan natolu. Kepemimpinan pada etnis Nias, dibedakan antara pemimpin pemerintahan dengan pengetua adat.

Masing-masing etnis di Sumatera Utara saat ini telah mengembangkan berbagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat etnis atau kekeluargaan. Seperti perkumpulan semarga, kelompok arisan keluarga dan kelompok-kelompok pengajian.

2. Sistem Ekonomi

Masyarakat asli Sumatera Utara, secara garis besarnya dibedakan kepada dua kelompok, yaitu masyarakat yang mendiami daerah pantai dan masyarakat yang mendiami daerah pegunungan. Masyarakat yang mendiami daerah pantai, terutama hidup dari hasil laut, bekerja sebagai nelayan. Sedangkan masyarakat yang hidup di daerah pegunungan hidup dari hasil pertanian, bekerja sebagai petani.

Masing-masing etnis memiliki daerah tempat asal, misalnya etnis Pakpak dari kabupaten Dairi, Simalungun dari kabupaten Simalungun, Melayu dari daerah pantai timur dan seterusnya. Masing-masing daerah tersebut memiliki potensi alam yang merupakan modal dasar dalam mengembangkan ekonomi setiap daerah. Potensi alam tersebut tidak akan bermanfaat secara maksimal tanpa di dukung oleh kualitas sumber daya manusia. Dalam hal inilah, nilai-nilai budaya dari masing-masing etnis perlu diaktualkan kembali, seperti nilai gotong royong, penghormatan terhadap tokoh adat, dan lain-lain.

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat etnis di Sumatera Utara selalu melakukan kerjasama atau gotong royong. Masing-masing etnis memiliki term atau istilah khusus yang berkaitan dengan gotong royong, yaitu: Marsialapari (Mandailing), Marsiadapari, Marsirimpa, dan Tumpak (Batak Toba), Aron (Karo), Haroan (Simalungun), Tolo-tolo, Fahalelua (Nias), Urup-urup (Pakpak), Basamo (Pesisir), dan Kerahan (Melayu). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa masyarakat etnis di Sumatera Utara memiliki kegemaran bergotong royong.



Bentuk-Bentuk Gotong Royong pada Etnis Sumatera Utara.

Masing masing etnis Sumatera Utara menggunakan term atau istilah khusus untuk menyatakan gotong royong, dengan berbagai keragaman dan kesamaan makna dan aktifitasnya.

a. Gotong Royong Bidang Pertanian.

Gotong royong bentuk pertama ini, pada hakikatnya lahir dari kebutuhan masyarakat dalam mengerjakan lahan pertanian. Pada masa lalu masing-masing anggota masyarakat memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan tenaga buruh tani yang terbatas, karena itu masyarakat petani mengalami kesulitan mengerjakan lahan pertaniannya secara sendiri-sendiri. Hal inilah tampaknya faktor utama yang mendorong lahirnya kelompok-kelompok kerjasama (gotong royong), seperti kelompok Aron (Karo), Marsiadapari (Batak Toba), Marsialapari (Mandailing), Urup-urup (Pakpak) dan Haroan (Simalungun).

Sekarang ini tradisi gotong royong tersebut sudah jarang dilakukan, kecuali oleh sebagian kecil masyarakat tradisional yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang belum tersentuh berbagai teknologi pertanian. Penyebab ditinggalkannya tradisi ini, terutama dikarenakan telah tersedianya banyak tenaga buruh tani, serta banyaknya anggota masyarakat yang hanya memiliki lahan sedikit dan bahkan ada yang tidak memiliki lahan pertanian. Karena itu, sebagian besar petani yang masih memiliki lahan yang lebih senang mengerjakan lahan pertaniannya dengan cara mempekerjakan orang lain (upahan), disamping menggunakan tenaga sendiri/anggota keluarga. Selain itu, dengan munculnya berbagai teknologi baru bidang pertanian, seperti traktor, dan alat perontok padi dan sejenisnya juga mendorong ditinggalkannya model gotong royong dalam mengerjakan berbagai aktivitas pertanian.

Pada masyarakat etnis Melayu, Pesisir dan Nias, tidak ditemukan bentuk kerjasama seperti yang dikemukakan di atas. Kerjasama yang terjadi dalam mengerjakan lahan pertanian, lebih bersifat tolong menolong. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan kasus pada masyarakat Nias.

Masyarakat Nias yang hidup dari pertanian sawah juga tidak memiliki tradisi gotong royong. Umumnya mereka berupaya mengerjakan sendiri sawahnya, namun bilamana pada saat tertentu dirasa tidak mungkin dikerjakan sendiri, maka mereka meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan secara suka rela. Biasanya orang-orang yang diminta pertolongannya adalah orang dekat seperti keluarganya dan orang lain yang biasa bekerja bersawah untuk bersama-sama mengerjakan sawah atau obato. Tradisi ini disebut dengan tolo-tolo (tolong-menolong).

Demikian pula halnya di kalangan petani etnis pesisir dan Melayu, juga ditemukan adanya gotong royong dalam mengerjakan lahan pertanian, akan tetapi bentuknya tidak seperti model aron dan sejenisnya. Dalam hal ini, tiga etnis yang terakhir tidak memiliki term khusus untuk menyatakan bentuk gotong royong bidang pertanian ini. Term atau istilah yang digunakan bersifat umum, yaitu tolong menolong dalam semua urusan. Etnis Nias menyebutnya Tolo-tolo atau fahalelua, etnis Pesisir menyebutnya Basamo, dan etnis Melayu menggunakan istilah Kerahan.

b. Gotong Royong pada Acara Pesta.

Berbeda halnya dengan bentuk gotong royong yang pertama di atas, gotong royong bentuk kedua ini pada dasarnya adalah upaya tolong menolong antara sesama anggota masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pesta, seperti pesta perkawinan, pesta sunatan, kenduri, dan juga pada upacara kematian. Gotong royong bentuk kedua ini terdapat pada delapan etnis yang ada di Sumatera Utara. Bentuk tolong menolong tersebut bisa berupa bantuan materil seperti beras, kelapa, uang, dan sejenis ternak, tetapi bisa juga dalam bentuk tenaga atau fasilitas. Orang Batak Toba menyebut tradisi ini dengan tumpak. Secara formal tidak ada kesepakatan dalam kegiatan saling-menolong ini, sehingga bantuan yang diberikan ini tidak menjadi hutang bagi yang menerima bantuan. Namun dilihat dari tata aturan adat, seseorang yang menerima bantuan dari orang lain akan melakukan hal yang sama bila orang lain melakukan pesta adat.

Bentuk gotong royong yang kedua ini, ternyata masih tetap dilakukan oleh masyarakat seluruh etnis di Sumatera Utara, baik yang tinggal di pedesaan maupun yang tinggal di daerah kota. Kecuali suku Batak Toba yang masih konsisten dengan tumpaknya, pelaksanakan sistem tolong-menolong di kota-kota sudah mengalami modifikasi.

c. Gotong Royong dalam Membangun Fasilitas Umum.

Masing-masing etnis di Sumatera Utara, juga memiliki tradisi gotong royong untuk menyelesaikan pekerjaan yang manfaatnya untuk kepentingan masyarakat luas, seperti memperbaiki irigasi, membangun jalan, jembatan, dan sarana ibadah.

Misalnya, pada masyarakat etnis Batak Toba dikenal istilah marsirimpa (berarti bekerja serempak), yaitu memberikan bantuan umum kepada seseorang yang sedang menghadapi pekerjaan besar, seperti membangun rumah, atau bantuan umum untuk menyelesaikan pekerjaan yang manfaatnya untuk dinikmati secara bersama-sama, seperti memperbaiki irigasi dan membangun jalan.

Demikian pula halnya dengan etnis lain, seperti etnis Nias menyebutnya Tolo-tolo atau fahalelua, etnis Pesisir menyebutnya Basamo, dan etnis Melayu menggunakan istilah Kerahan, untuk menyatakan gotong royong dalam berbagai bidang kehidupan termasuk berbagai sarana untuk kepentingan umum.



Nilai Kekerabatan

Kekerabatan termasuk gejala universal yang selalu dijumpai dalam masyarakat manusia. Namun demikian, sifat kekerabatan itu sangat beragam karena fungsi dan manfaatnya yang berbeda bagi setiap etnis atau suku bangsa.

Pada umumnya etnis tersebut tidak hanya menempatkan sistem kekerabatan itu sebagai ikatan sosial antar individu, melainkan lebih dari itu kekerabatan adalah ikatan sosial antar marga atau antar komunitas. Kekerabatan yang tercipta atas dasar afinitas (perkawinan) dan konsaguinitas (hubungan darah atau genetik), bagi etnis-etnis yang ada di propinsi ini menembus batas-batas tertorial dan kesukuan sehingga membentuk jaringan yang cukup luas dan kompleks.

Di Sumatera Utara terdapat sejumlah variasi tipe kekerabatan yang dianut oleh masyarakat. Namun bila dianalisis lebih dalam, sistem kekerabatan yang ada di daerah ini terbagi pada dua tipe, yaitu keluarga luas (extended) dan persekutuan kelompok berdasarkan keturunan dan perkawinan. Jadi di sini tidak ditemukan sistem kekerabatan terbatas, seperti pada masyarakat industrial modern, yang hanya terbatas pada keluarga batih (nuclear family) saja, namun kelurarga batih itu tetap eksis dan berdiri kokoh sebagai dasar untuk terbentuknya keluaraga luas dan persekutuan kelompok yang meliputi sejumlah klan atau marga-marga.

Umumnya sistem kekerabatan pada etnis yang termasuk rumpun Batak menganut tipe kekerabatan persekutuan kelompok keturunan. Banyak istilah yang digunakan etnis Batak yang menggambarkan hubungan sosial dalam sistem persekutuan kelompok itu, antara lain; dalihan natolu (Batak Toba, Batak Angkola, Mandailing), daliken sitelu (Karo), Sulang Silima (Pakpak), dan tolu sahundulan lima saodoraan (Simalungun). Pada umumnya istilah-istilah tersebut menggambarkan suatu pengelompokan sosial di dalam masyarakat yang sengaja digunakan untuk mengetahui fungsi-fungsi sosial dari setiap komunitas dalam berhubungan antara satu sama lain. Pengelompokan masyarakat yang dianut dalam masing-masing sub-etnis Batak ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

Term dalihan natolu yang digunakan oleh etnis Batak Toba, Batak Angkola, dan Mandailing, serta daliken si telu bagi etnis Karo pada dasarnya memiliki makna etimologis yang sama, yaitu tiga buah tungku (biasanya dari batu) yang menjadi landasan atau tempat untuk meletakkan periuk ketika memasak nasi atau lainnya. Secara terminologis, istilah dalihan natolu atau daliken sitelu diartikan sebagai sistem kekerabatan yang terdiri dari tiga kelompok masyarakat yang saling berhubungan secara fungsional. Ketiga kelompok masyarakat itu adalah; 1) Saudara-saudara laki-laki semarga (own descent group), 2) Marga yang mengawini gadis (wife-receiving party), dan 3) Marga yang gadis mereka dikawini (wife-giving party). Di kalangan Batak Toba, tiga kelompok sosial itu disebut dongan sabutuha, boru, dan hula-hula, pada suku Batak Angkola dan Mandailing disebut Kahanggi, anak boru, dan mora, sedangkan pada suku Karo disebut, Sembuyak/Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu.

Term Sulang Silima pada suku Pakpak adalah yaitu: 1) Perisang-isang (pembuat acara, atau suhut dalam istilah Batak Toba dan Angkola), 2) pertulan tengah (saudara tengah), 3) perekur-ekur (saudara bungsu), 4) perbetekan/beru, dan 5) punca niadep.

Term Tolu Sahundulan Lima Saodoraan pada suku Simalungun secara etimologis berarti tiga satu kedudukan lima sebarisan. Term ini timbul karena masyarakat tradisional Simalungun mempunyai lima tungku untuk menanak nasi. Oleh sebab itu kalau menanak nasi secara sempurna, terutama kalau nasi yang akan dimasak banyak, harus menggunakan lima tungku.

Lima tungku yang terangkum dalam lima unsur kekerabatan adalah: 1) Tondong yaitu pihak mertua (pemberi anak gadis); 2) Boru yaitu pihak pengambil anak gadis; 3) Sanina: mengandung pengertian golongan semarga dengan seseorang; 4) Tondong ni tondong ialah pihak besan; 5) Boru ni boru atau boru mintori yaitu pihak anak gadis dari pengambil anak gadis.

Berbeda dari sistem kekerabatan etnis Batak yang disebut di atas, sistem hubungan-hubungan sosial pada etnis Melayu dapat dilihat dari sistem stratatifikasi masyarakat. Sebagai komunitas-komunitas yang terikat dengan sistem kerajaan, etnis Melayu termasuk etnis yang mengedepankan pelapisan sosial berdasarkan gelar sesuai status sosial yang dimiliki seseorang. Gelar-gelar itu adalah; 1) Sultan, sebagai penguasa tradisonal; keturunannya digelar sebagai tengku, 2) Wan, yaitu keturunan tengku yang melakukan perkawinan dengan rakyat biasa, dan keturunannya ada yang disebut Orangkaya (OK), 3) Dato’, yaitu orang-orang yang diberi gelar oleh Sultan karena dipandang berjasa terhadap kerajaan. Keturunan Dato’ ini dipanggil dengan Encik, dan 4) terakhir tentu ada rakyat biasa (tapa gelar).
Karena sistem sosial berkaitan dengan gelar, tampaknya sistem kekerabatan etnis Melayu cenderung menjaga status ini. Sistem perkawinan yang diterapkan –tidak seperti orang Batak tradisonal yang bersifat exogami, melainkan lebih sering bersifat indogami, hal mana terjadi karena keinginan untuk menjaga gelar-gelar yang dimiliki. Jadi kekerabatan yang tercipta menjadi terbatas pada sanak-saudara (kindreds) yang terbentuk atas dasar kesamaan gelar (agnata, genetis) dan perkawinan (affina). Namun demikian, etnis Melayu masih exetended family yang ditandai dengan usaha mempertahankan hubungan dengan keturunan kerabat jauh yang dibangun pada masa lalu. Sistem kekerabatan; dalam memelihara kekerabatan sangat memperhatikan garis keturunan sampai lima generasi ke atas dan empat generasi ke bawah. Lima keturunan ke atas adalah orang tua, nenek (atok), onyang, datu dan niri. Sedangkan empat keturunan ke bawah adalah anak, cucu, cicit dan piut.

Etnis Nias, sekalipun melestarikan marga –seperti halnya orang Batak, cenderung membangun sistem kekerabatan terbatas (sampai pada keluarga luas, extended family). Memang secara tradisional, seperti pada hampir semua suku di Sumatera Utara, suku Nias memiliki mado (marga-marga) mengikuti garis ayah (patrilineal), akan tetapi dalam prakteknya, peran dan fungsi mado pada masyarakat Nias tidak persis sama dengan marga seperti dalam etnis Batak. Perbedaan antara keduanya setidaknya terlihat dalam hubungan antara individu dengan marga yang sama pada masyarakat Batak jauh lebih kuat dan dekat dari pada antara individu dengan mado yang sama pada suku Nias. Orang semarga dalam suku Batak dianggap kerabat dekat (dongan sabutuha), sementara orang Nias menganggap orang semado hanya berkedudukan sebagai teman. Ini mungkin karena, seperti dikatakan oleh Segawa, "… people with the same mado yet living in far away villages do not maitain the kinship tie, or they do not consider each other as members of one mado (orang yang memiliki mado yang sama tetapi bermukim di desa yang berjauhan tidak memelihara ikatan persaudaraan, atau mereka tidak saling menganggap sebagai anggota mado yang sama).

Dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan yang diterapkan oleh etnis Nias dalam setiap kegiatan kekeluargaan lebih didasari oleh keturunan langsung yang mana hanya ayah, ibu, saudara kandung dan kerabat dekat seperti paman (istilahnya mbamboto) –lah yang berperan menyelesaikan kegiatan tersebut.



Fungsi Kekerabatan bagi Berbagai Etnis

Pada hakikatnya sistem sosial yang dianut oleh sub-sub etnis di atas adalah prinsip sosial yang menjelaskan hubungan antara marga-marga, baik antar marga dalam satu kampung ataupun antar marga dalam satu wilayah yang lebih luas (antar kampung). Dasar hubungan itu adalah faktor darah/genetika (agnata) dan perkawinan (affina) yang berlangsung antarmarga. Atas dasar hubungan agnata dan affina itu terbentuklah sistem tutur (partuturon). Di sini terlihat betapa pentingnya silsilah (tarombo) yang dapat mengungkap sejarah terbentuknya sistem kekerabatan dan jenis-jenis partuturon antara marga-marga.

Dalam sistem sosial suku-suku Batak, pengelompokan sosial berdasarkan fungsinya memiliki nilai filosofi yang cukup penting, antara lain dalam; 1) menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat; 2) mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam kehidupan adat bermasyarakat; dan 3) menjadi dasar untuk bermusyawarah dan mufakat masyarakat Batak.

Fungsi lainnya dari sistem kekerabatan itu adalah menentukan hubungan kekerabatan antara satu orang dengan lainnya, sehingga dapat ditentukan tutur sapa (partuturon). Misalnya pihak kahanggi, dongan tubu akan menyapa pihak mora/hula-hula dengan "tulang", "inang tulang" ompung/bao dan sebagainya. Pihak kahanggi akan menyapa pihak menantunya dengan bere, lae, amang boru, inang boru dan sebagainya. Tutur sapa selanjutnya diatas menurut usia dan jenis kelamin yang akan disapa.


Nilai kekerabatan dalam konteks globalisasi

Satu hal yang segera dapat dipahami dari sistem kekerabatan yang terdapat sistem budaya etnis yang ada di Sumatera Utara adalah adanya sistem jaringan antarindividual dan antar kelompok yang amat rapi. Hubungan partuturon yang terajut dengan apik dan rapi pada setiap etnis telah membentuk jaringan yang saling berkait satu sama lain. Jaringan itu amat rumit, sehingga tidak satu komunitas pun yang terisolasi atau lepas dari pusat sosial. Sistem kekerabatan itu bagaikan sarang labah-labah, di mana setiap komunitas sosial yang berada pada bagian pinggir sekalipun tetap memiliki hubungan yang dekat dengan komunitas yang ada di bagian sentral. Jaringan kekerabatan seperti itu masih terpelihara dengan baik pada semua etnis asli penduduk Sumatera Utara, baik di lingkungan Batak Toba, Angkola, Madailing, Simalungun, Pakpak, dan Karo, maupun di lingkungan Melayu, Nias dan Pesisir.

Dibandingkan dengan sistem kekerabatan suku-suku bangsa di Barat atau Amerika, sistem kekerabatan yang dianut oleh etnis-etnis yang ada di Sumatera Utara dinilai sangat unik dan istimewa. Jika kekerabatan masyarakat Barat telah luluh dan berantakan disebabkan oleh menguatnya paham individualisme, sehingga hampir tidak ditemukan lagi jaringan sosial yang kuat antar kelompok marga atas dasar agnata dan affina (kecuali dalam lingkup terbatas), maka kekerabatan masyarakat etnis di Sumatera Utara masih menggambarkan suatu jaringan solidaritas dengan deretan yang cukup panjang. Mungkin orang Barat hanya dekat dengan ayah, ibu, mertua atau ipar saja, tetapi tidak demikian halnya bagi orang-orang asli Sumatera Utara yang sampai sekarang masih menjalin hubungan yang erat secara emosional dengan keturunan dari marga agnata atau affina yang terbangun pada lima atau enam generasi yang lalu.

Banyak orang menggambarkan era globalisasi itu sebagai zaman yang ditandai dengan sistem jaringan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ideologis yang kuat serta sebagai zaman di mana pembagian kerja berlangsung ketat berdasarkan keahlian, maka sebenarnya bukanlah sesuatu yang sulit bagi suku-suku bangsa yang ada di Sumatera Utara karena mereka telah terbiasa dengan sistem jaringan kekerabatan yang luas dan rumit serta tetap konsisten menjalankan tugas sesuai dengan fungsi sosialnya, seperti yang diatur dalam adat Dalihan Natolu.

Lebih dari sekedar kekerabatan yang hanya terbatas pada hubungan darah dan perkawinan, kesadaran etnisitas dan keagamaan merupakan faktor lain yang amat penting bagi suku-suku bangsa ada di Sumatera Utara untuk membangun jaringan global. Hubungan-hubungan emosional yang kuat serta lembaga-lembaga kebudayaan yang menghubungkan antara suku bangsa Melayu yang terdapat di berbagai kawasan dan berbagai negara, tentu dapat dijadikan sebagai modal permulaan untuk menciptakan hubungan yang lebih rasional dan saling menguntungkan. Demikian juga hubungan emosional yang masih kuat antara etnis Batak yang Kristen dengan suku-suku yang beragama yang sama di berbagai kawasan dunia, khususnya di negara-negara berkembang, sudah barang tentu dapat diperkuat dengan hubungan-hubungan bersifat ekonomis. Ini berarti, bahwa kesadaran etnisitas dan keagamaan tidak dapat dinilai sebagai pertanda dari kecenderungan ekslusif, melainkan sebagai landasan yang penting untuk menciptakan jaringan yang lebih luas.



Wujud jaringan etnisitas pada era globalisasi

Penjelasan di atas memberikan suatu gambaran yang tegas bahwa kesadaran etnisitas tidak dapat dipandang sebagai faktor pemicu timbulnya praktek rasialisme dan pertentangan antarkelas di dalam masyarakat. Karena menguatnya tuntutan globalisasi untuk memiliki jaringan yang luas, kesadaran etnisitas pun telah mengalami pergeseran yang signifikan. Bila pada masa lalu keragaman etnis dijadikan sebagai dasar pengkotak-kotakan kelompok sosial dan dasar untuk mengukur status sosial, maka pada era globalisasi semakin disadari bahwa keragaman etnis itu harus dijadikan sebagai dasar untuk menjalin kerja sama yang solid antara satu sama lain. Jadi sebenarnya era globalisasi yang muncul sekarang ini telah mengingatkan semua orang untuk mempraktekkan penjelasan al-Qur`ân S. al-Hujrât, 13: "Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal (satu sama lain). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah yang paling taqwa". Dengan demikian, era baru yang disebut globalisasi itu adalah peluang berharga bagi suku-suku bangsa yang masih mempertahankan akar budayanya untuk membangun hubungan-hubungan yang lebih bermanfaat.

Tentu saja ada satu hal yang penting disadari oleh anggota etnis ketika nilai sistem kekerabatan tradisonal ingin ditransfer ke dalam sistem jaringan sosial-ekonomi pada era globalisasi, yaitu bahwa sistem jaringan itu tidak memadai lagi semata-mata didasarkan pada hubungan darah dan perkawinan melainkan harus disertai keahlian-keahlian tertentu. Mereka yang memiliki keunggulan komparatif lah yang kelak mampu memperluas jaringan secara global. Karena itu sebuah jaringan kekerabatan atas dasar kesadaran etnisitas tidak akan berarti apa-apa bila tidak disertai dengan kemampuan-kemampuan kompetitif yang memungkinkan terjalinnya kerjasama antarindividu atau antarkelompok dari berbagai kawasan dan negara. Inilah tantangan terberat bagi anggota-anggota etnis yang ada di Sumatera Utara.

Gejala untuk membangun jaringan yang lebih luas dan dikelola dengan manajemen modern telah mulai terlihat di kalangan anggota berbagai etnis yang ada di Sumatera Utara. Gejala itu tertangkap dari suburnya pertumbuhan dan perkembangan organisasi kekerabatan (OK) di perkotaan. Organisasi-organisasi kekerabatan serupa sangat strategis untuk dijadikan sebagai basis untuk membangun jaringan antar kelompok, baik antar OK sekota, antar OK dari berbagai kota, antar OK dengan daerah asal, antar OK dari berbagai etnis, dan antar OK dengan lembaga-lembaga profesional di dalam maupun luar negeri.

Lebih bila diperhatikan perkembangan kontemporer tentang etnis-etnis yang ada dunia barat, maka ternyata ada gejala baru yang muncul di luar sistem-sistem modern. Studi-studi antropologis menunjukkan betapa etnisitas telah dipergunakan (dalam artikulasi organisasi) secara fungsional oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu, tetapi di balik gejala itu ternyata muncul kelompok-kelompok etnis dengan label-label primordial untuk mengorganisasi diri baik bidang agama, sosial, maupun perdagangan. Perkumpulan sosial dan perdagangan Jahudi di New York yang cukup berpengaruh, adalah satu contoh betapa pentingnya peranan organisasi etnis ini di era globalisasi sekarang.

Pada tahun 1959, di kota London terdapat lebih dari 20 kelompok etnis yang bergerak di bidang perdagangan dan ekonomi. Sebagaian dari kelompok ini membuat jaringan yang rapi dan melakukan sirkulasi uang secara intens di luar prosedur-prosedur sistem bank. Perdagangan uang ini berlangsung dalam lingkaran orang-orang yang saling mengenal dan saling mempercayai. Tingkat kepercayaan yang tinggi di antara sesama anggota kelompok ini ternyata muncul dari kesamaan bahasa dan dialek yang dipakai, serta penghargaan terhadap norma-norma tertentu. Walaupun dinilai ekslusif, ternyata anggota kelompok ini terus bertambah, karena mereka selalu berusaha merekrut anggota baru dari kelompok etnisnya.

Langkah menuju terciptanya jaringan saling menguntungkan, seperti digambarkan di atas, memang masih panjang. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu dibenahi agar harapan itu dapat terwujud;

Pembinaan sumber daya manusia (SDM): Pembinaan SDM ini harus diarahkan pada pembekalan profesionalisme yang kompetitif. Sebenarnya usaha ke arah itu tidak perlu dipikirkan hal-hal besar di luar jangkauan, cukup dengan pencetakan kader-kader etnis pada bidang-bidang khusus dan spesifik, seperti ahli perdagangan, ahli manajemen, ahli teknologi komunikai (khususnya komputer), dan sejenisnya.

Peningkatan mutu produk unggulan lokal agar memiliki daya saing dengan produk-produk sejenis lainnya.

Penguatan lembaga-lembaga etnis, seperti organisasi kekerabatan, agar dapat dijadikan sebagai media penghubung antar kawasan, serta secara internal mampu membina kader-kader profesional dari kalangan etnisnya sendiri. Untuk maksud tersebut diperlukan perubahan orientasi dan sistem manajemen organisasi.

Pemanfaatan media promosi seluas-luasnya, sehingga seriap keunggulan lokal, baik SDM maupun produk, dapat dikenal oleh masyarakat internasional di manapun mereka berada. Karena itu, bila memungkinkan setiap etnis perlu memiliki media komunikasi yang memiliki jangkauan yang luas.



Pendayagunaan Tokoh Panutan

Pada bagian ini, dicoba mengidentifikasi tokoh-tokoh panutan yang dimiliki oleh masing-masing etnis yang ada di Sumatera utara, menjelaskan fungsi dan peran yang mereka lakukan, memprediksikan kebermaknaan mereka pada era globalisasi, lalu kemudian menyajikan format keberadaan para tokoh panutan tersebut di era globalisasi ini.

1. Terminologi lokal tentang tokoh panutan

Secara umum, berdasarkan temuan penelitian ini, tokoh panutan yang dimaksudkan di sini dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori yaitu pemuka agama, pemuka adat, pemuka pemerintahan dan kaum bangsawan. Harus dicatat bahwa pertama, tidak semua etnis yang ada memiliki ke-empat kategori ini; dan kedua, pada etnis tertentu klasifikasi ini bisa tumpang tindih (overlapping). Seorang tokoh panutan pada etnis tertentu bisa sekaligus termasuk kedalam lebih dari satu klasifikasi tersebut.

Masing-masing etnis yang ada di Sumatera Utara memiliki terminologi yang berbeda mengenai seseorang yang dianggap sebagai tokoh di dalam komunitasnya. Etnis Melayu mengenal istilah Ato’ dan Raja; etnis Nias memiliki Ere, Sotanö, Salawa/si’ulu, Balö Zi’ulu, Si’Ulu Sito’ölö, Si’ila; etnis Karo mengenal konsep Kalimbubu; dalam etnis Simalungun ada term Anak Boru dan Lima Saodoran; etnis Pakpak memiliki Kula-kula dan Sulang Silima; etnis Angkola dan Mandailing mengenal istilah Raja Pamusuk dan namora natoras; dan etnis Batak Toba memiliki Hula-hula, Raja (Harajaon), Sintua dan Datu.

2. Peran primus interpares dalam masyarakat tradisional

Secara keseluruhan setidaknya ada tiga peran utama yang dimainkan oleh para tokoh tradisional ini:

a. Sebagai anggota badan legislatif, eksekutif dan judikatif. Para tokoh seperti Tuhenöri pada etnis Nias atau harajaon pada etnis Batak Toba berfungsi menyusun, menetapkan dan mengimplementasikan hukum yang berlaku pada wilayahnya, dan ini mencakup hukum perkawinan, hukuman terhadap pelanggaran tertentu, dan sebagainya.

b. Sebagai penyedia pengobatan alternatif. Sebelum dunia medis berkembang dan menyentuh lapisan masyarakat tradisional, hampir setiap penyakit yang diderita oleh seseorang dianggap bernuansa magis dan mistis. Penyakit dikonsepsikan sebagai karma, kutukan, atau kemarahan dari begu atau roh penunggu objek tertentu karena kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Dalam kasus seperti ini, seorang datu (pada etnis Batak), tabib (pada etnis Melayu dan Pesisir), atau ere (pada etnis Nias) akan menjadi rujukan untuk mencari pengobatan.

c. Sebagai pemangku, pemelihara dan pemimpin upacara dan seremonial adat. Kehidupan masyarakat tradisional diwarnai oleh berbagai seremonial adat berkaitan dengan event-event dalam siklus kehidupan mulai dari perkawinan, kelahiran, dan kematian. Disamping itu ada juga berbagai seremonial berkaitan dengan event tertentu seperti pembukaan lahan pertanian, mulai bercocok tanam, memanen hasil sawah, memasuki rumah baru, dan sebagainya. Pelaksanaan berbagai ritual dan seremonial ini dipimpin oleh seseorang yang telah mendapat pengakuan dari anggota masyarakat sebagai tokoh adat. Dalam masyarakat Nias tokoh ini disebut Salawa Hada, dalam etnis Mandailing disebut Raja Pamusuk dan namora natoras, atau Raja dalam etnis Batak Toba.

d. Sebagai tokoh agama, penasehat spiritual dan moral. Seorang yang disebut Ere adalah imam dalam pelaksanaan ritual keagamaan dalam kepercayaan kuno masyarakat Nias, dan dengan pengetahuannya pada hal-hal yang bersifat magic dan supranatural, tokoh ini juga sering menjadi referensi bagi anggota masyarakat yang membutuhkan nasehat spiritual. Sementara itu, Si’ila yang berasal dari golongan masyarakat awam tetapi memiliki kelebihan dalam wawasan dan pengetahuan dijadikan sebagai penasehat dalam menjalankan roda pemerintahan dalam masyarakat Nias tradisional. Pada etnis Batak Toba juga ditemukan istilah Sintua dan Hula-hula untuk peran yang sama.

Masyarakat etnis Melayu mengenal seorang Atok sebagai pembimbing moral dan sumber nasehat spiritual. Atok menjadi sumber rujukan utama sebelum segala sesuatu menjadi keputusan dalam masalah kehidupan keluarga/rumah tangga. Oleh karena itu, Atok dalam keluarga masyarakat Melayu sangat dihormati dan selalu mendapat tempat dan perhatian di hati anak-anak dan cucunya.

Dalam sejarah panjang perjalanan masyarakat etnis Sumatera Utara ditemukan sejumlah perubahan yang signifikan di bidang sosial, budaya dan ekonomi. Disengaja atau tidak, dalam keterpaksaan atau suka rela telah banyak tradisi etnis yang mengadopsi nilai-nilai baru yang muncul sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi dan organisasi, dan akibatnya tidak sedikit tradisi dan nilai-nilai budaya yang memudar dan bahkan ditinggalkan karena dipandang tidak relevan lagi. Tetapi tentu saja tidak semua nilai baru yang diadopsi itu baik, seperti halnya tidak semua tradisi atau nilai-nilai budaya yang memudar itu sesuatu yang ketinggalan zaman. Semua perubahan tersebut, jika didalami lebih serius, ternyata akan mengundang sejumlah besar permasalahan bagi masyarakat etnis itu sendiri.

Satu hal yang perlu dicatat dari penjalanan sejarah ini adalah bahwa komunitas-komunitas etnis selalu tertinggal beberapa langkah dari pekembangan zaman. Memang harus diakui bahwa telah terjadi proses pewarisan nilai-nilai sistem sosial dan budaya etnis yang cukup kaya dari generasi ke generasi, namun ketika nilai-nilai itu dihadapkan dengan dunia yang terus melejit maju ternyata sebagian besar tidak dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah yang semakin kompleks, bahkan terkadang nilai itu dianggap menghambat. Lalu muncul pertanyaan, apakah tradisi etnis dan nilai-nilai budaya itu yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman ataukah ada faktor lain yang menjadi penyebab utamanya.

Sebenarnya nilai-nilai dan tradisi budaya etnik di Sumatera Utara banyak yang bernilai tinggi, hanya disayangkan belum teraktulisasikan secara optimal ke dalam kehidupan nyata –dalam arti belum dapat menjawab tantangan zaman. Sumatera Utara cukup kaya dengan keunggulan-keunggulan lokal yang melekat dengan sistem budaya dan alam sekitarnya, seperti sistem sosial yang solid dan berjangkauan luas, sistem ekonomi yang berwatak kerakyatan, karya seni yang bernilai tinggi, dan sumber alam yang kaya, namun semuanya belum termanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai, tradisi-tradisi, dan sumberdaya alamiah yang dimiliki umumnya masih bersifat potensial sementara orang-orang yang dianggap bertanggung-jawab untuk mengaktualisasikannya masih bekerja dengan tidak sepenuh hati. Mereka yang telah berpikir untuk mengembangkan nilai-nilai, tradisi-tradisi etnik dan potensi alam ke dalam bentuk-bentuk yang lebih rasional dan saling menguntungkan masih bekerja setengah hati. Gagasan-gagasan dan usaha-usaha rintisan yang diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian masyarakat di bidang sosial, budaya, dan ekonomi, seperti organisasi-organisasi kekerabatan, yayasan-yayasan sosial, dan lembaga-lembaga ekonomi, ternyata belum mampu memberikan yang terbaik bagi anggota-anggota etnis. Hal ini tidak lain karena belum dilakukan dengan secara sungguh-sungguh dan tidak terlihat kerjasama yang padu antara elit-elit sosial.

Kaitannya dengan era globalisasi yang sudah diambang pintu, sebetulnya nilai-nilai dan tradisi-tradisi etnik yang dimiliki daerah ini dapat dijadikan sebagai modal. Paling tidak ada empat kekuatan yang dipunyai semua etnis di Sumatera Utara yang dipandang relevan didayagunakan untuk menghadapi globalisasi. Keempat kekuatan itu adalah tradisi gotong royong, sistem kekerabatan, tokoh panutan, dan keunggulan lokal. Tradisi gotong royong sesungguhnya bila ditangani dengan cara-cara yang lebih profesional dapat dijadikan sebagai model pengembangan ekonomi kerakyatan, karena dalam tradisi ini masyarakat sudah terbiasa menghimpun kekuatan secara demokratis untuk saling membantu antar sesama. Sistem kekerabatan yang begitu solid dan rapi juga dapat dikembangkan untuk membangun jaringan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Dengan sistem kekerabatan yang ada sangat mungkin diwujudkan suatu organisasi yang kuat yang bergerak dalam pembinaan sumberdaya manusia, pengembangan budaya, dan sebagai basis untuk berbisnis. Jika tradisi gotong royong dan sistem kekerabatan dikemas dengan baik tentu akan mampu memberi nilai tambah bagi keunggulan lokal yang dimiliki sehingga layak jual ke pasaran yang lebih luas. Di sini jelas peranan tokoh-tokoh panutan (primus interpares) serta kaum terpelajar akan menjadi penting, baik sebagai benteng moral dan nilai-nilai budaya, maupun sebagai pioner dalam menggagas dan mengorganisir masyarakat dalam membenahi kehidupan mereka.

Dari itu pemikiran untuk mendayagunakan etnis sebenarnya bukanlah sekedar ‘pepesan kosong’. Jika berangkat dari suatu keyakinan, bahwa tradisi dan nilai-nilai etnis memiliki keunggulan dan akan sangat relevan untuk diaktualisasikan di era globalisasi, maka ia pasti akan membuahkan hasil yang menggembirakan. Semua orang beradab percaya bahwa kemajuan itu tidak dapat diukur dari pemiliki material tetapi justru yang lebih penting adalah manusianya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta tetap berpijak pada nilai-nilai kebenaran. Karena itu, globalisasi tidak dijadikan untuk menghancurkan nilai-nilai budaya, bahkan nilai-nilai budaya itulah yang harus dijadikan sebagai basis untuk mengendalikan globalisasi itu.










Pustaka Acuan

Abdullah, M. Amin, "Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya", dalam Ulumul Qur`ân, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Nomor 1 Vol. IV, Th. 1993, (Jakarta: LSAF & ICMI, 1993).

Agustrisno, dkk., Pembinaan Budaya Dalam Lingkungan Keluarga Daerah Sumatera Utara, (Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994).

Ali, S. Husin, Rakyat Melayu Nasib dan Masa Depannya. (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985).

Awang AR, Hashim, Pengajian Sastera dan Sosial-budaya Melayu Memasuki Alaf Baru, (Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu Universitas Melayu, 1998).

Baginda Marakub M., Djop Ni Roha Pardomuan", (Padang Sidempuan, Pustaka Timur, 1969).

Bangun, Payung, "Kebudayaan Batak" dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1997).

Bangun, Tridah, Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1986).

_______, Manusia Batak Karo, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986).

Bloomfield, Frena, Dibalik Sukses Bisnis Orang-Orang Cina, (Jakarta: Sangsaka Gotra, 1986).

Datubara, A.G.P., Liputan wawancara Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantra, Edisi Juni / Juli 1995 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Daud, Ismail Che, Tokoh-Tokoh Ulama Semenanjung Melayu (1) (Kota Bharu: Majelis Ugama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan. 1988).

Depdikbud, "Adat-Istiadat Daerah Sumatera Utara", Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, (Jakarta: Depdikbud, 1977/1978).

Geertz, C., Agricultural Involution, (Chicago: University of Chicago Press, 1966).

Ginting, Meneth, Idaman & Harapan Masyarakat Desa Kabupaten Karo, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 1990).

GsSchroder, E. E. W., Nias, Etnographishe, Geographishe Aanteeke-ningen en Studien, (Leiden: 1917).

Gulö, W., Benih Yang Tumbuh XIII (Suatu Survey Menyeluruh Tentang Banua Niha Keriso Protestan di Nias), (Semarang: Satya Wacana, 1983).

Harahap, E. ST., Perihal Bangsa Batak, (Jakarta: Dep. PP & K, 1960).

Harefa, Faogöli, Hikayat dan Cerita Bangsa Serta Adat Nias, (Rapatfonds Residentie Tapanuli, 1939).

Harris, Marvin, Patterns of Race in the Americas, (New York: Norton, 1964).

Hirst, Paul & Grahame Thomson, Globalization in Question, terjemahan P. Soemitro, Globalisasi adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2001).

Husny, Tengku Lah, Butir-Butir Adat Budaya Melayu, (Jakarta: Depdikbud, 1984).

Hutagalung, W., Tarombo Marga ni Suku Batak, (Medan: Fa. Sihardo, 1961).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. (Jakarta: Aksara Baru, 1980).

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1987).

_______, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985).

Laiya, Bambowo, Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1980).

Lase, Serius T., 1997, "Nias: Bukan Sub-Kultur Batak," dalam Suara Ya’ahowu, No. 8, Thn I, 15 Jan-15 Feb. 1997

Latif, Abu Bakar, Abdul (Ed). Kesatuan dan Perpaduan Dunia Melayu Dunia Islam, (Institut Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia, 2001).

LeBar, Frank M., Ethnic Groups of Insular Southeast Asia, (New Heaven : HRAF Press, vol. 1, 1979).

Lubis, M. Solly, dkk., Kerja Kelompok Aron di Tanah Karo, (Medan : Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, 1987/1988).

________, "Inilah Tano Niha (Selintas Sejarah Nias)," dalam Suara Ya’ahowu, No. 8, Thn.I, 15 Jan-15 Feb 1997.

_______, Umat Islam dalam Globalisasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Marbun, B. N., "Bisnis Tradisional Batak & Manajemen Modern", dalam Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, No. 4/1985, (Medan: Yayasan Kebudayaan Batak, 1985).

_______, "Budaya Batak Versus Kehidupan Modern", dalam Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantara, Edisi: Juni / Juli 1995, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Marbun, M.A. & I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987).

Matondang, A. Ya'kub, "Strategi Dakwah di Tengah Budaya Global", Makalah tidak diterbitkan.

Meuraxa, Dada, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara, (Medan: Sasterawan, 1973).

Naibaho, Mangisi, "Menata Produksi Cindera Mata di P. Samosir", dalam Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantra, Edisi: Juni/Juli 1995, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Nainggolan, Ratna, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias, Laporan Penelitian, (Medan: Kerjasama Pemda Tk. I SU dengan Kanwil DikBud dan IKIP Medan, 1995).

Naisbitt, John, Global Paradox, edisi Indonesia terjemahan Drs. Budijanto, (Jakarta: Bina Aksara, 1994).

Napitulu, O. L., Perang Batak: Perang Sisingamangaradja, (Djakarta: Jajasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, 1972).

Nasution, H. Pandapotan, SH. Mandailing Natal Peluang dan Tantangan, (Medan, Yayasan Pasarimpunan Ni Tondi, 2001).

Panggabean, H. A Hamid, SE., et.all, Bunga Rampai Tapian Nauli (Jakarta: Tapian nauli-Tujuh Sekawan. Cet.I, 1995)

Pelly, Usman dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya, (Jakarta: B3 PTKSM P2TKPT, Ditjen DIKTI DEPDIKBUD, 1993)

Perkasa Alam, Ch. Sutan Tinggi Barani, Mangampar Ruji Nangkobar Boru", (Padang Sidempuan, 1978).

Pierre L., Van den Berghe, Race and Racism: A Comparative Perspective, (New York : Wiley, 1967).

Purba, M.D., Letkol. Purn., Mengenal Sang Naulah Damanik Sebagai Pejuang, (Medan: Penerbit MD Purba, 1980).

Purba, O.H.S. & Elvis F. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak), (Medan: Monora, 1997).

Purba, T. B. A. Tambak, Sejarah Simalungun, (1982).

Rakhmat, Jalaluddin, "Islam Menyongsong Peradaban Gelombang Ketiga", dalam Ulumul Qur`an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 2, Vol. 2, 1989, (Jakarta: LSAF, 1989)

_______, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1991).

Rustiani, Frida, "Globalisasi: Masihkah Ekonomi Rakyat Boleh Berharap?", dalam Frida Rustiani (ed.), Pengembangan ekonomi Rakyat dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Yayasan AKATIGA & YAPIKA, 1996).

Sanderson, Stephen K., Macrosociology, terjemahan Farid Wajidi dan S. Menno, Makro Sosiologi: Sebuah Pemdekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000).

Segawa, Shimpei, Some Preliminary Results of Research on the Culture and Society of Nias Island, North Sumatera, (Draft Laporan Penelitian, 1984).

Siagian, Robinson Togap, "Organisasi Kekerabatan (OK) Orang Batak, 50 Tahun Indonesia Merdeka", dalam Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantra, Edisi: Juni/Juli 1995, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Siahaan, S.M., "Peranan dan Kedudukan Raja dalam Struktur Suku dan Masyarakat Batak", dalam Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, No. 04/1985, (Medan: Yayasan Kebudayaan Batak, 1985).

Sihombing, Parsaoran, et.all., "Struktur Bahasa Simalungun", Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatera Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991/1992.

Sinar, Tengku Lukman, Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. (Medan: Tanpa Penerbit, 1990).

_______. Jatidiri Melayu. (Medan: MABMI, 1994).

Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993).

Skinner, G.W., "The Chinese Minority", Indonesia, (R.T.Mc. Vey editor: New Heaven, HRAF, 1963).

Suzuki, P., The Religion System and Culture of Nias, Indonesia, (s’Gravenhage : 1990).

Tamboen, P. Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Balai Pustaka, 1949).

Tarigan, Henry Guntur "Tutur Pada Masyarakat Karo" dalam Percikan Budaya Karo, (Bandung: Yayasan Merga Silima, 1988).

Vasanty, Puspa "Kebudayaan Tionghoa di Indonesia" dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1997).

Vergouwen, J. C., The Social Organization and Community Law of the Toba Batak of Northern Sumatra, terjemahan Redaksi Pustaka Azet, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta: Pustaka Azet, 1986).

Yunus, Umar, "Kebudayaan Minangkabau" dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1997).

Zainuddin, H. M., Tarich Islam dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961).

Zebua, F., Kota Gunung Sitoli: Sejarah Lahirnya dan Perkembangan-nya, (Gunung Sitoli: TP., 1996).