Mimpi Yang Terbunuh

23.01 Diposting oleh College student

Mimpi (03) :
Ada beberapa yang menanyakan, mengapa ia tak pernah berani bermimpi meski dulu ketika masih kuliah mimpinya
bejibun? Bahkan ada yang terasa ekstrim bertanya mengapa ia tak punya mimpi.

Ada pula yang secara guyon mengatakan: saya malas mimpi atau saya tidak pernah mimpi karena tidak pernah tidur.

Saya yakin, semua orang sebenarnya punya mimpi. Saya pun semula tak tahu kalau apa yang saya tekadkan selama ini
saya golongkan mimpi. Definisi mimpi baru saya kenal ketika mendapat kesempatan menjadi eksekutif puncak
perusahaan dan terjun ke dunia usaha, yang setiap tahun harus membuat visi dan misi. Susahnya luar biasa membuat
visi dan misi perusahaan. Visi yang ditetapkan Astra International bahwa pada tahun 2006 harus "To be one of the best
managed corporation in Asia Pasific with the emphasis on building competence through human resources development,
solid financial structure, customer satisfaction and efficiency" dan "To be a socially responsible corporation and being
environmentally friendly" lahir dari pergulatan yang panjang, melelahkan dan melibatkan banyak pakar. Itulah mimpi
Astra dua tahun ke depan.

Saya baru sadar bahwa metode yang sama bisa diterapkan dalam lingkungan personal, diri kita sendiri, baru beberapa
waktu lalu. Kemudian dikipasi oleh tulisan pakde Broto, bahwa mimpi bila didayagunakan akan membawa berkah dan
oleh Masfuk yang mengatakan bahwa hanya mereka yang berani bermimpilah yang sukses. Ternyata setelah saya
renungkan, mimpi saya banyak. Bahkan orang lain pun ternyata memiliki mimpi yang banyak pula. Dari email-email japri
yang masuk, banyak yang menceritakan mimpi-mimpi mereka. Ada yang ingin jadi pengusaha sukses setelah cukup
lama jadi profesional. Ada yang ingin jadi cerpenis dan novelis. Ada pula yang mengutarakan mimpi-mimpi lain yang
terlupakan karene tergerus oleh rutinitas kerja.

Tetapi mengapa ada yang merasa malas dan tak mampu bermimpi lagi? Mimpi, sepengatahuan saya, memang bisa
terbunuh. Pembunuh utama mimpi adalah kegagalan dan kelelahan kita mewujudkan mimpi. Kalau mimpi kita
ketinggian, terlalu kompleks, njlimet, tanpa melihat diri kita sendiri dan lingkungan pendukungnya, maka kita akan
termehek-mehek mengejarnya. Bukan manis yang diraih, justru pahit yang didapat. Begitu mimpi kita gagal kira raih, tak
mudah membangun mimpi lagi.

Oleh karena itu, saya membiasakan diri membuat mimpi-mimpi kecil. Yakin, sesuatu pencapaian yang sangat kita idamidamkan,
yang kita yakini bisa kita raih dengan usaha, ketekunan dan kecerdikan di atas rata-rata. Yang pernah saya
sebutkan misalnya ""Survive di Jakarta dan menyekolahkan adik2 dan membantu ekonomi orang tua", dapat dilanjutkan
(atau bisa juga diparalelkan) dengan mimpi lain "Memiliki sorga dunia berupa rumah mungil dengan halaman luas di
Jabotebek di mana kita bisa berlabuh, menyalurkan hobi berkebun dan melihat binatang piara", atau "Menghajikan
Orang tua dan Mertua". Mimpi-mimpi kecil itu ternyata melahirkan mimpi-mimpi baru. Gara-gara saya mimpi punya
rumah mungil di tanah yang lapang, saya bekerja di atas rata-rata sehingga memicu munculnya mimpi-mimpi bisnis dan
manajemen. Beberapa tahun lalu setelah rumah kecil berhalaman luas terwujud, berpuluh-puluh mimpi-mimpi kecil yang
sifatnya personal dan bisnis pun semakin liar bermunculan.

Pembunuh mimpi kedua yang terbesar adalah lingkungan yang beku. Institusi pemerintah, yang bergerak lamban (atau
malah mundur), adalah pembunuh ideal mimpi. Kenaikan karir yang lambat karena harus mengikuti prosedur baku, intrik
yang berkepanjangan antar kelompok, pekerjaaan yang itu-itu saja sepanjang tahun, mendominasi suasana kerja di
lingkungan institusi pemerintah adalah pembunuh sejati mimpi. Saya banyak menyaksikan teman-teman yang dulu
http://www.cimbuak.net - Cimbuak.net +++ Forum Silaturahmi, Komunikasi dan Informasi Adat Budaya Minangkabau Sumatera Barat Generated: 26 December, 2005, 15:33
bergairah, begitu menjadi pegawai negeri berubah menjadi orang yang dingin dan tidak punya semangat tarung meraih
"value" yang lebih tinggi. Memang ada beberapa teman pegawai negeri yang masih mampu menjaga mimpinya, tapi itu
manusia langka.

Terjebak dalam perusahaan yang tidak mampu memaksimalkan kemampuan kita juga sebuah lingkungan yang buruk
untuk membangun mimpi. Begitu juga terlalu lama terkungkung dalam satu perusahaan swasta dengan pekerjaan yang
sama dan gaji yang tidak naik-naik, ataupun kalau naik paling tinggi sama dengan nilai inflasi, juga lahan pembantaian
mimpi. Sayang sekali, institusi pendidikan, yang seharusnya melahirkan banyak pemimpi-pemimpi kecil, diisi oleh
pendidik-pendidik yang justru sebagian besar tidak bernyali mimpi.

Bagaimana lolos dari serangan pembunuh mimpi? Tunggu episode berikutnya.

Catatan :
Ada yang tanya kenapa saya bisa nulis terus. Apa tidak mengganggu pekerjaan? Alhamdulillah, saya dikaruniai
kemewahan untuk bisa menulis "di mana" saja kapan saja saat ini. Dalam perjalanan rumah-kantor yang memakan
waktu satu jam bisa membuka laptop, menulis, sambil mendengarkan lagu kesayangan. Di jam kerja pun, kalau mau,
saya bisa menulis. Pada jam kerja, saya bisa saja keluar kantor dan nongkrong di StarBucks Café sambil nulis. Tidak
ada yang melarang. Bahkan, saking hormatnya saya dengan client, mitra bisnis dan lain-lain, saya selalu usahakan
datang 30 menit sebelum waktu meeting. Sambil menunggu mereka, saya buka laptop atau corat-corat kertas atau PDA.
Inilah salah satu kemewahan dari buah mimpi-mimpi kecil. Atau di tengah malam buta, ketika mata tak juga terpejam,
saya bisa membuka laptop menulis sesuatu, sambil sesekali memandangi wajah teduh istri yang terbuai bunga tidur:
mimpi dalam arti sesungguhnya.

Related Posts by Categories



0 komentar: